Setelah menangis cukup lama, Gempa dan yang lainnya segera membawaku pulang tanpa menanyakan apapun padaku, mungkin hal itu dilakukan untuk menjaga perasaanku.
Untungnya sekolah tersisa satu jam lagi dan guru yang mengajar sedang sakit, sehingga guru piket mengizinkan kami bertujuh untuk pulang, dengan syarat tetap mengerjakan tugas yang telah diberikan.
"Hei, kemari kan tasmu," ucap Ice mengambil tas milikku lalu melemparnya ke arah Blaze.
Blaze dengan senang hati menerimanya tanpa mengeluh, bahkan ia rela membawa tiga tas bersamaan. Siapa lagi kalau bukan Ice yang satunya? Tas biru dengan gantungan paus, hanya Ice yang memilikinya.
"Tunggu biar aku saja---"
Baru saja aku hendak mengambil kembali tasku, Gempa langsung menghalangi dan tiba-tiba saja menggendongku di belakang punggungnya, dibantu oleh Halilintar dan Taufan.
"Apa?! Turunkan aku! Aku bisa jalan sendiri!" teriakku mulai memberontak.
"Udah, nurut aja sebelum aku masukin kamu ke dalam karung," ujar Gempa dengan senyuman yang agak menyeramkan.
Melihat ekspresi wajah yang seperti itu, sudah jelas Gempa tidak main-main dengan ucapannya barusan, mau tak mau aku harus menurut dan membiarkan diriku digendong hingga rumah.
Diperjalanan, aku melihat ada banyak bunga dipinggiran jalan dan pepohonan rindang yang tinggi menghalau sinar mentari. Udaranya yang sejuk disertai angin sepoi-sepoi, membuat hatiku terasa lebih tenang dan nyaman berada di sini.
"Mau kemana kita?" tanyaku ketika menyadari bahwa jalanan yang dilewati ini tampak asing.
"Ya, pulang ke rumah. Cuman kita pake jalan lain aja, biar bisa nikmatin pemandangan sekalian," balas Gempa tanpa menoleh.
"Solar jarang ikut ke sini sih, jadi kita coba lewat sini," sambung Taufan.
"Omong-omong udah lama ya kita ga pulang bareng gini? Terakhir bisa pulang bertujuh itu 2 tahun lalu."
"Bener, lagian sih Gempa sibuk sama osis, Solar sibuk sama eksperimennya, lalu bang Hali biasa lah... dia mah sombong maunya pulang duluan."
Halilintar yang merasa dirinya disindir langsung menatap tajam ke arah Taufan, sedangkan yang ditatap segera bersembunyi di balik tubuh Gempa sambil tersenyum mengejek ke arah Halilintar.
Gempa yang melihat kelakuan kedua abangnya tersebut hanya bisa terkekeh geli. Aku yang ikut dijadikan sebagai tameng, justru merasa ketakutan dengan Hali yang sudah mulai emosi dengan ejekan baru dari Taufan.
Duh, mereka ini dimana aja tetep sama, batinku.
Disaat sedang momen bahagianya, Blaze tiba-tiba saja memasang ekspresi agak sedih. Kurasa dia sudah tau bahwa hidupnya tidak akan bertahan lama, dan merasa bahwa dia tidak bisa merasakan momen ini lagi.
Sepertinya aku harus menjalankan kewajibanku secepatnya, tapi... Bagaimana caranya? Menggunakan kekuatanku akan beresiko, apalagi jika benar kekuatanku dapat menyembuhkan.
Kalau aku tidak berhati-hati, diriku di sini akan mendapatkan dampak dari masalah yang dibuat olehku. Belum lagi, kalau ada banyak orang yang tau tentang kekuatan ini, bisa-bisa aku malah dijadikan sebagai bahan eksperimen dan akan diburu oleh banyak orang. Tidak hanya aku yang diburu, tapi para elemental bersaudara ini juga akan ikut terlibat.
"Sip, udah sampai. Sekarang baru boleh turun," ujar Gempa ketika sudah tiba di depan rumah.
Tanpa menunggu lama, aku langsung melompat turun dan segera mengambil tasku yang dibawakan oleh Blaze tadi, harusnya dia ga boleh membawa banyak barang seperti ini. Tapi dia pasti ga mau penyakitnya ketahuan, dan hanya pasrah menerima suruhan Ice tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
SANG MENTARI [END S.1]
FanfictionSolar sebuah kuasa tahap dua milik Boboiboy pada akhirnya harus meninggalkan tuannya karena suatu alasan dan memilih untuk mati demi sang tuan. Tapi siapa sangka setelah menghilang dan mati, dia justru dikirim ke dunia lain (inkarnasi) dimana para e...