Di depan ruang ICU, sudah ada Dela, Rendi, Karlo, dan Nabila yang berniat menjenguk Alva, tapi mereka malah di kejutkan dengan kacaunya penampilan Sania yang di temani oleh Dina, sahabat kantornya.
Pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dari mulut anak-anak itu tidak ada yang terjawab, Sania hanya menggeleng dengan tatapannya yang kadang terlihat kosong, tak lupa juga air mata yang masih saja merembes keluar.
"Sudah yaa? Tante Sania juga butuh tenangin dirinya sendiri, kalian mengerti kan?" Ujar Dina
"Sebenarnya apa sih yang terjadi sama Alva? Gak biasanya kak Sania gini, Tan." Ujar Dela bertanya-tanya
Dina menggeleng, ia juga tidak tau pasti apa yang terjadi. Ia tidak berani menebak-nebak,
"Tadi Alva .. Sempet .. " Sania menunda kata-kata pahit yang akan ia keluarkan,
"Sempet kenapa, Tan?" Tanya mereka semua berbarengan
"San?" Panggil Dina
"Dokter bilang Alva-meninggal ... " Semua mata tertuju pada Sania kini, "Dan untungnya, detak jantungnya kembali." Helaan nafas kelegaan mengudara saat itu juga, mereka pikir, Alva memang sudah koid
"Terus sekarang Alva gimana?" Tanya Dina
"Keadaannya perlu di pantau dua puluh empat jam! Alva masih butuh penanganan intensif, dan .. "
"Kenapa, Tan?" Tanya teman-teman Alva tidak sabaran
"Dan apa kak?" Tanya Dela
Sania menoleh, "Kita gak tau, Alva akan sadar, atau tidak .. " Sangat berat mengatakan itu, Sania mengusap air mata yang jatuh lagi, perkataan Dokter Rama tentang ini menguasai pikirannya kini, "Saat itu Dokter salah memasukkan obat, Dokter malah menyuntikkan obat yang efeknya membuat detak jantungnya berhenti .. "
Rendi memukul dinding rumah sakit, membuat orang yang lewat menoleh padanya, "Salah kasih obat? Dokter siapa? Dokter Rama?!" Tanya Rendi nyolot
"Ren? .. Tenangin diri Lo dulu! Ini rumah sakit!" Ujar Dela
"Tenangin diri gimana maksud Lo?"
"Syuut, Dek? Ini rumah sakit, nanti kamu di usir kalo gak bisa tahan emosi mu." Ujar Dina memotong perkataan Rendi
Sania memilih abai dengan kericuhan yang terjadi, pikirannya benar-benar teralihkan pada Alva, memikirkan apakah putranya akan benar-benar bisa bangun nanti.
"Tante Sania, Dokter yang mana sih? Gak ada tanggung jawabnya sama sekali!" Ujar Rendi menghampiri Sania
"Udah, Ren! Tante juga gak bisa tenang! Tante juga gak terima, tapi sekarang Alva lebih penting, Ren! Mau dia minta maaf juga gak akan ngembaliin kondisi Alva seperti semula, tanggung jawab seperti apa yang kamu minta?" Tanya Sania menatap sahabat sang putra
"Bukan kali ini aja dia salah ambil obat, waktu itu juga Alva sesek dan dadanya sakit, tapi Dokter itu tidak memberi reaksi, yang ada membuat Alva tidur lagi dengan sedasi. Coba kamu pikir? Kamu minta tanggung jawab dia, untuk menangani Alva, itu kan yang kamu mau? Terus bagaimana dengan anak Tante nanti, Ren? Apa lagi yang akan dia kasih ke Alva? Kalau tanggung jawab dengan penanganan ke Alva, Tante gak mau! Tante cukup takut untuk itu, Ren! Tante takut dia akan melakukan sesuatu lagi ke Alva!" Ujar Sania bersama air mata yang kembali mengalir
Rendi terdiam, ia tidak mengerti dengan kacaunya pikiran Sania. "Maaf, Tan." Ujar-nya
Sorenya, beberapa Dokter ikut masuk memeriksa keadaan Alva yang masih bisa di bilang buruk di dalam, ada tiga Dokter yang ikut membantu Dokter Rama memantau kondisi Alva setiap detiknya, dan beberapa suster yang akan mencatat setiap hasil dari kondisi Alva.
Kecuali Dokter Inka, Sania melarang keras wanita itu untuk sekedar masuk.
Nafas Alva yang masih menjadi pertimbangan, untuk di pasangi ventilator atau tidak. Juga tidak ada tanda-tanda kesadaran pada anak itu, tapi Dokter Rama belum berani mengatakan bahwa Alva koma, mengingat tadi pagi saja Alva masih sadar.
"Kamu awasi terus untuk perkembangan pernafasannya, jangan sampai lengah!" Ujar Dokter Rama
"Baik, Dok!" Ujar Dokter Bayu yang di beri tugas, Dokter Bayu adalah adik dari Dokter Rama
"Kadar darahnya di dalam juga rendah, saturasi oksigennya juga menurun." Ujar Dokter Rama mengamati monitor yang menampilkan hasil rekaman detak jantung Alva yang masih lemah, dan kadar oksigen dalam darah, juga pasokan darah yang mengalir ke jantung.
Hari berganti hari, hingga kini sudah jalan tiga hari anak itu masih di rawat intensif di dalam ICU. Selama tiga hari pula Sania tidak sama sekali di izinkan untuk sekedar melihat putranya, ia tidak diperbolehkan untuk masuk, walaupun sekedar melihat dari balik kaca.
Selama tiga hari itu pula, Sania tidak masuk kerjanya, dan tiga hari pula, pola makan Sania tidak teratur, bahkan ia baru mau makan hari ini, dua hari kemarin tidak ada nasi yang masuk mengisi perutnya.
Kini dirinya ada di mushola di dalam rumah sakit, bersama-sama mendoakan kesembuhan putranya kepada tuhan sang pencipta.
Di barisan saf-nya ada ia dan juga Dina. Di saf depannya ada Rendi dan Karlo. Ada Nabila dan Dela yang menunggu di depan ICU, karena dua anak itu tengah haid.
Sania nampak berdoa dengan khusuk meminta kesembuhan Alva pada tuhan yang maha pengasih, ia suguhkan nama putranya yang tersemat dalam relung hati dan pikirannya, tak sedikit juga air mata yang tumpah dalam doanya meminta kesembuhan dan kesehatan untuk sang putra.
Dina juga nampak menangis dalam doanya, entah kalimat apa yang ia suguhkan pada tuhan, tapi ketulusan dan keikhlasan hati terlihat padanya.
Tak ayal, Rendi dan Karlo pun sama, keduanya sama-sama berdoa dengan khusuk dan serius meminta kesembuhan untuk sahabatnya,
"Ya Allah, sembuhkan-lah sahabat kami .. Sehatkan-lah jiwa raga sahabat kami .. Beri kekuatan padanya, Ya Allah .. Tunjukkan jalanmu pada sahabat kami agar segera bangun .. syafakillah semoga Alva cepat bangun, sehat kembali, Al-fatihah ... " Ujar Rendi berdoa
Setelah melaksanakan sholat sebagaimana rutinitas yang wajib, lalu di lanjutkan dengan berdoa, meminta kesembuhan Alva pada tuhan yang memberi kesembuhan.
"Bagaimana, Dok? Apa ada perkembangan, Dok?" Tanya Sania penuh harap
"Keadaannya masih sama, ibu Sania. Tekanan darah, kadar oksigen, semuanya masih rendah .. Detak jantungnya pun masih lambat, belum menunjukkan tanda kestabilan pada detak jantungnya." Ujar Dokter Rama memberi penjelasan
Sania menatapnya dengan perasaan gundah, hatinya sampai kapanpun tidak akan pernah merasa lega, jika Alva saja masih belum memiliki perubahan,
Matanya ingin sekali memandang putranya itu, matanya seperti berubah menjadi batu.
"Kapan saya bisa menemuinya, Dok?" Tanya Sania pasrah
Melihat dari balik kaca, bahkan dari balik jendela pun tidak apa-apa. Ia hanya ingin memastikan bahwa sang putra masih bernyawa.
"Iya, Dok. Kami juga ingin bertemu dengan Alva, siapa tau dengan mendengarkan suara dari keluarga atau temannya, keadaan Alva bisa jauh lebih baik lagi." Ujar Rendi, diangguki Karlo, Nabila, dan Dela
"Untuk saat ini saya mohon bersabarlah. Keadaan Alva masih membutuhkan pantauan 24 jam, dan tak lupa ke-sterilan ruangannya. Masih banyak pengobatan yang di lakukan untuk membuatnya tetap bertahan, dan membuatnya kembali sadar. Kami tau bagaimana perasaan kalian, tapi mohon bersabar sedikit lagi, kami pastikan, akan melakukan yang terbaik untuk Alva!" Jawab Dokter Rama
"Tolong lakukan yang terbaik untuk teman kami, Dok!" Ujar Rendi
"Usahakan agar dia cepat sadar lagi, Dok!" Ujar Karlo
"Kami kangen dengan tingkah absurd-nya, Dok! Tolong usahakan semaksimal mungkin usaha Dokter!" Ujar Nabila
"Buat Alva cepat sadar lagi, Dok! Agar dia bisa menghidupkan suasana yang seolah mati ini." Ujar Dela
Dokter Rama tersenyum, "Pasti!"
Dokter Rama melangkah meninggalkan tempatnya berdiri, menyisakan orang-orang itu yang masih menatap khawatir ruang ICU tempat Alva terbaring disana.
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surrenders
Teen FictionDeskripsi? Tidak ada. Datanglah, siapa tau membuatmu betah. #sickstoryarea Jangan salah lapak, berakhir menghujat.