Jennie sedikit terkejut setelah ia turun dari bus dan masuk ke dalam salah satu gang. Pasalnya Jennie tidak tahu daerah tersebut sama sekali, ditambah daerah itu sangat kecil dan banyak sekali rumah-rumah kecil dan tentunya Jennie tidak yakin apakah ini bisa disebut pemukiman yang layak di tinggali atau bukan.
"Lo tinggal disini?" tanya Jennie.
Nathan menganggukan kepalanya sambil memperhatikan cara berjalan Jennie yang sedikit berhati-hati karena becek.
"Biasa aja kali! Apa karena lo anak orang kaya ya? Jadi gak pernah lewat jalan gang kecil kayak gini?" sindir Nathan.
"Apaan sih! Lo kan beliin gue sepatu baru, kalau ada air ludah, tai, gitu gimana? Baru beli udah kotor gimana?" tanya Jennie kesal.
"Ya namanya juga sepatu! Alas kaki, fungsinya buat melindungi kaki kita salah satunya dari kotoran," balas Nathan puas.
"Emang lo rela sepatu baru beli langsung nginjek tai?" sindir Jennie.
"Rela lah! Asal bukan kaki gue yang kena tai," jawab Nathan.
"Dih orang aneh!" ejek Jennie.
Nathan tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya, "Ya lo-lah yang aneh. Kalau gak mau sepatunya kotor, gak usah pake sepatu."
"Nanti kaki gue yang kotor, gimana sih!"
"Ya makannya itu fungsi sepatu, gimana sih!"
Mereka terus berdebat tentang sepatu yang notabenenya perdebatan itu sangat tidak penting. Namun, perdebatan itu bisa membuat Jennie dan Nathan marah dan kesal karena mereka memiliki pendapat yang beda.
Tiba-tiba Nathan berhenti melangkah yang membuat Jennie yang ada disamping Nathan ikut berhenti. Nathan melihat rumah tua itu sambil mengingat masa kecil. Rumah itu adalah saksi bisu saat Nathan berada di masa-masa yang kelam. Masa-masa itu membuat dirinya memilih untuk menjadi pembunuh bayaran demi menghidupi ekonomi keluarganya. Apalagi ayahnya seorang pengangguran dan pemabuk, kakak perempuannya juga kabur dari rumah. Nathan tidak memikirkan apapun selain mencari uang.
"Ada apa?" tanya Jennie bingung.
"Ini rumah gue, maaf ya kecil, sempit, kotor lagi," jawab Nathan sambil membuka pintu rumah itu.
Jennie melihat rumah itu dengan tatapan jijik. Dari mulai tanah sampai atap, benar-benar tidak layak sama sekali. Bahkan terdapat tulisan "Rumah Ini Di Jual, Hubungi Nomor Dibawah ini". Rumah ini harus direnovasi agar lebih bagus dan juga layak sebelum di jual.
"Masuklah! Ternyata masih bersih, ga ada debu!" Seru Nathan yang ada didalam rumah itu.
Jennie pun masuk ke dalam rumah itu dan duduk dibawah sambil melihat interior rumah Nathan. Bagian dalam rumah Nathan juga kecil. Tidak ada furniture kecuali di dapur dan lemari. Seperti rumah zaman dahulu, Jennie bisa melihat kertas untuk menutupi jendela sebagai ganti kaca dan juga ada beberapa jaring laba-laba disudut ruangan.
"Rumah ini mau dijual, tapi kenapa fotonya masih dipajang?" tanya Jennie yang sedang melihat foto keluarga Nathan di dinding.
"Mau gue buang nanti kalau rumah ini ada yang beli," jawab Nathan sambil membersihkan rumahnya.
"Kenapa di buang?" tanya Jennie lagi.
"Karena mereka gak berguna, jadi gue buang," jawab Nathan jelas.
Jennie hanya menganggukan kepalanya. Mendengar respon Nathan, ia bisa menyimpulkan kalau keluarganya tidak harmonis sama seperti keluarganya. Jennie pun kembali melihat beberapa foto yang dipajang di dinding, terdapat foto Nathan waktu kecil bersama dengan seorang pria yang pasti itu ayahnya Nathan dan seorang wanita. Ia menebak wanita itu adalah ibunya Nathan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Contriteness
Narrativa generaleAiden, si pembunuh bayaran yang dikenal kartu AS di sebuah organisasi pembunuh bayaran bernama INK. Aiden sadar bahwa dirinya melakukan pekerjaan keji, sehingga ia ingin menebus dosanya dengan berjanji akan menjadi manusia yang lebih baik. Aiden mem...