❀ Prolog

159 8 0
                                    

Jual beli pukulan terus tak terelakkan, bertahan dan menyerang. Semakin sengit. Ronde ke tiga sebentar lagi berakhir. Seruan, sorakan, gemuruh euforia penonton mendukung segala ketegangan yang tengah berlangsung.

Babak final, ronde terakhir. Keringat mengucur deras dari setiap pori-pori kulitku. Napas menggebu, mengiringi setiap tinju yang kukerahkan sekuat tenaga. Lawanku tidak main-main. Aku harus cakap menghindar dan pandai membuat tameng saat ia menyerang.

Pilihan tepat ternyata naik ke atas ring resmi. Inilah pertandingan sesungguhnya -dan memang ini pertandingan sungguhan. Lawan yang setara.

Detik-detik terakhir sebelum waktu habis. Aku harus mengambil dua langkah lebih jika ingin memuaskan ambisiku. Ini pertandingan legal pertamaku. Aku tak mau jika hasilnya bukan aku pemenangnya, mau di taruh mana mukaku nanti.

Bugh! Bugh! Bugh!

Tiga pukulan beruntun, jab, hook. Celah lawan terlihat, lengah. Terlambat untuk membuat pertahanan, apalagi balik menyerang. Kuda-kudanya goyah, jatuh tersungkur.

Napas ku sudah tak karuan lagi, terlalu bersemangat. Seranganku bahkan tidak bisa terkontrol. Di otakku hanya ada perintah ‘habisi, aku harus menang!’. Bahkan gemuruh yang memenuhi sudut-sudut ruangan sama sekali tak merasuk dalam telingaku. Satu kepalan tinju dengan segala sisa kekuatanku sudah siap mendarat, yang mungkin tidak akan berakhir baik untuk lawanku yang bangkit saja sudah tak mampu. Wajahnya robek di sana-sini dengan darah kental beserta lebam. Beruntung ini kompetisi legal di bawah sertifikasi. Jadi jika wanita ini tidak baik-baik saja nantinya bukan aku yang akan bertanggung jawab.

Namun entah keberuntungan siapa ini. Sebelum tinjuku mendarat di rahang wanita itu. Lonceng tanda pertandingan berakhir berbunyi. Wasit gesit menahan aksiku, membawa otakku kembali ke alam sadar. Wanita itu terselamatkan, pertandingan telak dimenangkan olehku.

Susah payah aku mengatur deru napas, perlahan senyumku terukir lebar. Mataku menyapu segala penjuru venue. Semua bersorak atas diriku. Baru kali ini aku merasakan bagaimana rasanya dihargai yang sesungguhnya atas usahku sendiri.

Untuk pertama kalinya aku membusungkan tubuhku karena bangga, bukan karena merasa akulah yang terhebat. Memang ini bukan pertandingan pertama atau kemenangan pertamaku di atas ring. Tapi ini pertandingan dan kemenangan pertama atas kompetisi resmi tinjuku meskipun ini masih di tingkatan pemula. Dimana kemampuanku benar-benar diakui. Penghargaan pertamaku.

Benar kata dia, “Coba deh lo ikut kompetisi tinju. Gue jamin nanti kalau lo menang -gue nggak yakin sih kalau lo nanti bakal kalah. Lo bakal tau apa itu kemenangan sesungguhnya. Bukan karena lo haus akan pengakuan. Tapi di dunia yang namanya realita ini nggak ada yang nggak butuh bukti fisik sebuah pencapaian. Nanti kalau lo udah punya banyak piala, medali emas, sertifikat. Lo bisa tuh sombong sama dunia -tapi sombong yang sehat. Ini loh gue. Nana, dengan segala usaha gue sendiri.

Bakat jangan di sia-siain. Kalau itu emang baik buat masa depan lo kenapa enggak. Daripada lo sia-siain tenaga lo cuman buat gaya-gayaan. Katanya pengen buat papa lo bangga.

Jadiin sesuatu yang lo sukai sebagai hobi. Terus hal yang pandai lo lakuin sebagai pekerjaan.

Elo kan suka ya sama gue, jadi gue ini hobi lo. Terus kalau tinju, lo kan ahli. Udah kelewat itu mah ahlinya, jadiin pekerjaan di masa depan. Siapa tau lo nanti jadi atlet tinju terkenal gitu. Wuihh... Ngeri dong. Nanti gue punya pendamping hidup tukang pukul!”

Aku menyeka keringat dan darah yang keluar dari sudut bibir. Mengangkat tinggi-tinggi penghargaan ku.

Sayang, gue persembahin penghargaan ini buat lo.

**✿❀ ❀✿**


“Wahh sumpah sih, lo tadi lebih keren dari biasanya. Lebih serem juga. Anak-anak nggak ada yang sememuasakan tadi, ya.”

“Cih.. Ya iyalah! Apaan anak-anak di Nightmare nggak ada yang becus. Gue nggak pernah bener-bener ngerahin seluruh tenaga gue kayak tadi tau nggak!”

“Bukan mereka kali yang nggak becus, elonya yang ke seremen jadi anak!”

Aku mendengus, tidak mengelak juga saat mendengar tanggapan pemuda yang ikut menemaniku sepanjang pertandingan tadi.

Pertandingan usai. Sepanjang perjalanan menuju parkiran, aku beberapa kali tersenyum membalas orang-orang yang menyapaku, memberikan selamat atas kemenanganku. Aku mungkin wajah baru di sini. Tapi orang-orang ini ternyata lebih ramah dari mengingat pertandingan apa yang baru saja mereka saksikan.

“Lo pulang duluan aja, gue mau mampir bentar.”

Kami sudah berada di area parkir, mencari keberadaan kendaraan kami.

“Kemana, anak resek itu!” Itu pernyataan bukan pertanyaan. Pemuda itu lebih dari tau.

Ekspresiku yang berbicara, mengangkat dua alis. Menggoyangkan medali kemenanganku. “Gue mau ngasih ini ke dia.”

Ia memutar bola mata malas, nyiyir.

Kami sudah berjumpa dengan sepeda kami. Aku tengah bersiap menaiki moon, motor kesayanganku, Kawasaki Ninja H2 carbon, memakai sarung tangan. Saat ponselku bergetar di saku jaket yang kukenakan. Ada panggilan suara masuk.

Ada notifikasi, lebih dari dua puluh tiga panggilan tak terjawab dari kakak Dia. Aku tidak tau, sebab dari tadi aku sama sekali tidak mengutak-atik ponsel. Ada apa?

Tetapi log panggilan kali ini bukan dari orang yang sama sebelumnya. Tetapi panggilan pertama dari kakakku. Maka panggilan inilah yang sekarang aku terima terlebih dahulu.

“Halo kak... Kenapa?”

Tidak ada jawaban. Namun terdengar isakan tangis yang seolah ketakutan dari kakak di seberang sana.

“Halo kak! Kakak kenapa? Kakak di mana sekarang!?” Panik seketika merasuki. Aku bergegas memasukkan medaliku ke dalam tas. Mengempit ponsel di antara telinga dan bahu, menuntaskan perihal memasang sarung tangan. Pemuda di sampingku terlihat bingung dengan perubahan mendadakku.

“Tolong.. Aku... Aku takut..” Lirih, Hanya kata itu yang terus di ucapkan kakak.

Memasang cepat helm fullface, naik ke atas motor. Mengganti mode panggilan dengan loudspeaker.

“Kak.. kakak tenang dulu, tarik napas. Sakarang bilang kakak ada dimana. Atau... Atau kakak sherlock aja lokasi kakak!” Aku menyalakan mesin, bersiap.

Sebuah pesan masuk, kakak mengirimkan lokasi. “Oke, Kakak diem di situ aja, ya. Tunggu aku. Jangan__ Kak! Kakak!? Ctk, damn it!

Panggilan tiba-tiba di matikan sepihak. Sempat terdengar suara pria yang sepertinya marah, merampas ponsel kakak. Itu artinya entah apa yang sedang menimpa kakak, ia sekarang sedang dalam bahaya.

Aku menoleh pada pemuda yang masih bengong dengan wajah bertanya-tanyanya, “Inget ya, kalau sampek nanti subuh gue nggak ada kabar, lo baru boleh lapor ke orang rumah!” Tanpa pendahuluan sebuah penjelasan.

Menstater motor. Meninggalkan area parkir dengan kecepatan penuh. Menyisakan pemuda dengan bintik alami di wajahnya itu terus meneriaki, bertanya ada apa.

Aku mengeratkan rahang kuat. Tunggu saja, siapa yang berani membuat bahaya kakakku! Aku tak akan memberi ampun barang sekali kesempatan.

Di dalam saku, aku tidak tau jika ponselku kembali bergetar. Panggilan dari kontak yang sebelumnya berkali-kali menghubungiku.

Panggilan yang sama-sama pentingnya. Panggilan yang membuatku menyesal, karena harusnya aku angkat dari pertama kali panggilan itu di buat.

Dua panggilan yang aku tak tau andai saja dua-duanya terangkat, manakah yang harus aku prioritaskan terlebih dahulu.

**✿❀ ❀✿**



AKU? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang