25 ❀ DREAM( )SCAPE

26 4 0
                                    

Johanne dan piano, seperti Joanne dan boxing. Sebuah kesukaan yang perlahan pasti, berubah menjadi mimpi-mimpi tentang masa depan, sudah mendarah daging sejak angan itu datang di kehidupan nyata. Bedanya, Johanne dengan piano, mereka sudah saling melengkapi sejak lama. Piano adalah teman Johanne dari kecil. Serta, jika Joanne bisa memperjuangkan apa yang ia mau. Johanne tidak bisa,  ia lebih memilih mengubur mimpi itu. Padahal, anak mana yang tidak ingin mewujudkan sesuatu yang ia sukai dan sudah di damba sejak kecil.

Demi apa lagi, kalau bukan demi sang papa. Hanna anak penurut. Memang tidak pernah ada titah dan kata larangan, tapi Hanna mengerti mana yang di kehendaki dan tidak di sukai papanya. Anna sendiri, ia juga ingin menjadi anak yang penurut –bahkan jika dengan harus membuang mimpinya juga. Tapi ternyata sulit, ia tidak bisa seperti kakaknya. Mereka berbeda, tentu saja. Anna akan membuat sang papa bangga dengan caranya sendiri.

Di titik itu pula, sedikit saja, untuk saat ini, Anna ingin memberikan sesuatu yang berharga untuk kakaknya. Tidak pernah ada sepenggal cerita atau keluh kesah, namun Anna seolah merasakan apa isi hati Johanne. Meski sudah lama menutup lembar kisah perihal piano, seolah sudah lupa dan tidak ada beban untuk menumpuknya di bawah tumpukan memori lepas selama bertahun-tahun. Johanne masihlah mendambakan untuk membelai dan menari dengan jemarinya di atas tuts-tuts putih hitam dari piano.

Saat tau sekolah membuka pendaftaran seleksi lomba piano, untuk di bawa ke olimpiade luar. Tak usah ba bi bu, Anna harus ikut –atas nama Johanne, pastinya. Meminta tolong Karin untuk mengurus formulir, tanpa sepengetahuan Leon. Bukan seenaknya enteng menyuruh, Anna benar-benar tidak bisa jika mengurus formulirnya sendiri –sebab Leon, apa lagi! Lagi pula Karin juga terikat dengan koneksi dalam, dia anggota OSIS.

Bukan Anna merasa sok percaya diri dengan skill pianonya, malah masih amatir. Bukan juga terlalu sembrono untuk ikut kompetisi. Tidak terlalu suka memang, tapi Anna bisa memainkan piano. Mama Anna dan Hanna sama, beliau pandai dan sangat menyukai piano. Jadi bagaimanapun, Anna paham meski hanya dasar-dasarnya saja. Tinggal di asah dengan telaten, Anna perlahan bisa menguasai nada-nada piano. Otodidak, tanpa bantuan Leon. Dan jangan lupa, dulu Anna juga pernah berguru pada Danse dalam alat musik gitar. Poin tambahan yang menjadikan Anna tidak buta-buta amat dengan tone-tone musik dan tangga nada.

Anna berharap, walau tidak tau ia bisa sampai tahap mana dalam lomba ini. Semoga saat sang kakak bangun nanti, belum terlalu terlambat untuk berganti dia yang berdiri sendiri di atas panggung. Menunjukkan pada dunia, bahwa seorang Johanne juga berhak menggapai mimpinya. Mendapatkan aplaus dari para penonton. Sebuah impian, yang sayangnya sang mama juga belum di beri kesempatan untuk mewujudkan.

Namun, BOOMM!!

Dengan tololnya, si anjing Samoyed tak tau diri itu mengacaukan, seperti biasa. Anna tidak akan heran bagaimana Leon bisa mengetahui, padahal Anna sudah serahasia mungkin, hanya Karin seorang yang tau. Tapi anjing lah! Tetap saja, bangsat sekali dia! Sekali saja, Anna ingin di setiap langkah gerak geriknya, tidak ada kata Leon yang menjadi penyedap.

PLAK!

Alih bogem tinju kuat, Sebuah tamparan mantap mendarat di rahang tegas Leon. Sebagai salam pembuka saat Leon baru saja datang. Nyaring renyah di telinga. Maklum saja, kekuatan tangan itu memang porsi sebenarnya untuk di buat memukul, bukan menepuk. Wajah Leon sampai teralihkan ke samping, tanpa ekspresi kesakitan atau sekedar meringis panas di kulit. Meninggalkan bekas kemerahan di pipi putih Leon.

Anna nyalang menatap Leon, mengeratkan rahang. Tangan terkepal erat, sampai buku-buku jarinya mencuat. Sumpah serapah dan caci maki siap menggema berkumandang dari mulut manis Anna. Tapi Anna masih sadar posisi sekarang. Tanpa ia sadari, matanya berair, benar-benar marah. Anna sekuat tenaga menahan.

AKU? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang