16 ❀ "Gue kenapa!?"

31 5 0
                                    

Ekhem, aku serius.”

Anna telah menceritakan kronologi jas Rumi tempo hari pada Karin dan Geby. Apa adanya sesuai yang terjadi. Namun mereka berdua malah menatapnya penuh selidik, seolah apa yang ia ceritakan panjang lebar ada yang ditutupi. Anna jadi merasa aneh, berdeham.

Seisi kantin sedang ramai seperti biasa, tapi meja mereka rasanya tidak berpenghuni, hening. Karin dan Geby, ekspresi mereka seperti mengadili terdakwa yang ketahuan basah berbohong. Anna mencoba tidak peduli, menyuap makanannya.

Karin terlebih dahulu bersuara, memdesah. “Beneran. cuman gak sengaja tabrakan?” menggaruk pelipis.

“Harusnya, ya,” Geby menimpali dengan sendok ikut mengacung di tangan. “Kalau dia Rumi. Normalnya, dia nggak bakal peduli. Malah yang ada, kamu jadi pihak yang bersalah.”

“Dia pasti bakal bilang gini. 'Punya otak nggak! Kalo jalan yang bener. Hadap depan! Jalan bukan punya lo sendiri!' ” Karin memparodikan lengkap beserta mimik yang begitu sinis. “Atau bahkan lebih savage dari itu!”

Geby mengangguk, setuju. “Kalau hatinya lagi nggak bagus apalagi! Beuh... Gue dulu pernah, cuman gegara nyalip dia di tangga! Bayangin!” wajah kesal tak habis pikir.

“Lha, gue apalagi yang sering ketemu dia! Mesti makan hati tiap ketemu! Padahal, kadang bukan gue yang kena, tapi gue ikut kesel! Cowok, tapi mulut lebih pedes dari ibu-ibu se komplek!”

Kenapa jadi mereka yang emosional. Anna menyimak Karin dan Geby bergantian, tidak paham. Yang ia tau, dari kesan pertama dengan Rumi, pemuda itu terlihat seperti anak yang punya kepribadian lembut. Tidak seperti keluhan kedua temannya. “Masa sih?” Dia keliatan baik, kok. Kayak bidadari malah. “Tapi kemarin dia beneran biasa aja. Nggak marah sama sekali.”

“Lha, itu. Kita juga bingung.” Karin memasukkan suap makanan di mulutnya, setelah sejak tadi hanya di aduk-aduk.

“Gini, ya, Hann. Emm, gimana jelasinnya, ya, Rin!?” Anna semakin tidak mengerti. Tinggal menjelaskan saja, Geby sampai bingung. Padahal public speaking Geby cukup baik. Apalagi saat presentasi.

“emmm... Dia emang baik sih, aslinya. Kalau bicara, pas gak mode darah tinggi, juga lembut malah, kalem.” Karin juga terlihat berpikir keras, mencoba mencari bahasa yang tepat. “Simpelnya sih, dia agak sensitif sama spesies 'betina'. Kalau sama cowok, mah, dia biasa aja. Apa pun yang berhubungan sama cewek dia nggak bisa biasa aja, bawaannya sewoot mulu!”

“Nggak peduli siapa. Bahkan guru sekalipun –ya, nggak sesinis sama anak-anak sih. Tapi tetep aja!”

“Jangan-jangan dia suka sama Hanna!?” Karin berbicara pada Geby. Anna jelas mendelik, hampir tersedak makanannya.

“Ah, masa! dulu sama Seira juga tetep sensi tiap hari!”

“Seira mah, cewek gila kayak gitu juga! Cowok normal juga bakal wegah sama dia!” Cowok normal!? Anna mengerutkan alis. “Kalau Hanna, kan. Anaknya adem.” Adem, maksudnya apaan, anjir! Mereka bercakap seolah Anna tidak ada di depannya.

“Dia ketemu Hanna juga masih kali pertama itu juga! Awas aja kalau Hanna di buat bahan pencitraan. Kalo Seira, mah, gue gak peduli! Masih banyak kali, cewek yang aslinya suka sama Rumi. Secara muka dia, kan, gue akui emang lumayan.”

“Eh! tapi, gimana kalau sebenarnya dia cowok normal, nggak ga_” Geby reflek menyenggol Karin, menilik sekitar. Karin berdeham, tidak sadar sudah salah bicara.

Hening beberapa saat. Mereka seperti tidak seharusnya membahas topik itu.

“Kenapa?” ada apa dengan Rumi!? Di awal, Anna sempat berpikir. Apakah pemuda itu punya pengalaman buruk dengan perempuan. Putus cinta, atau sejenisnya mungkin. Namun, dari pembicaraan Karin dan Geby, Anna mulai menerjemahkan bahasa-bahasa keduanya tentang Rumi. “Gay!?” bertanya dengan wajah polos, “Rumi, ga_!”

AKU? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang