3 ❀ Perihal rindu pada matahari

59 8 0
                                    

KWANGYANG HIGH SCHOOL, 12.30

“WHAT!?” Suara melengking memekakkan telinga, di susul gelak tawa yang lebih mirip suara lumba-lumba dari orang yang sama.

Rumi yang tepat di sampingnya, menggeser tubuh menjauh. Mengamankan gendang telinga, memberikan tatapan sinis secara terang-terangan. “Anjir, nih anak gak pernah bisa dikontrol suaranya apa!?”

Lapangan basket akan sepi kala tidak ada pertandingan, latihan, atau sekedar anak-anak basket yang iseng bermain. Sunyi. Tempat yang tepat untuk menyendiri, jauh dari ramai dan bising manusia.

Sejak awal semester kenaikan kelas awal tahun, saat Steven, pemuda bermata sipit dan berkulit putih yang terlalu putih, menjabat sebagai ketua club basket. Gedung basket sepenuhnya ada di bawah kuasanya. Ia bebas keluar masuk kapan pun ia mau.

Di saat yang lain sedang ramai berbondong-bondong menuju kantin untuk makan siang. Steven akan menghabiskan jam istirahatnya di lapangan basket. Bergulat dengan ring dan bola sendirian, hingga keringat membasahi seluruh tubuhnya. Lantas ia akan menikmati sensasi terengah yang begitu candu untuknya. Sambil membaringkan tubuh, terlentang menatap langit-langit. Bagi Steven, basket adalah setengah dari kehidupannya. Tempat untuk mengadu lelah dan beban.

Hari ini, bersama dua sahabatnya yang sudah Tujuh tahun ia kenal. Setelah ditinggal sendirian satu bulan belakang, akhirnya mereka bisa kembali berjumpa. Hanya ada mereka bertiga di sana, duduk di lantai lapangan, dengan sekantong plastik berisi minuman kaleng yang ia beli dari mesin otomatis.

Namun lihatlah, cerita menarik apa yang di bawakan oleh sahabatnya saat mereka pertama kali berjumpa setelah sekian lama. Bukan kisah apik masa-masa mereka di luar Negri kemarin.

Melainkan si Juna, yang menurut keluhan Rumi, semalam malah berleha-leha di clubbing. Padahal ia sangat anti alkohol dan dunia malam.

Dan lihatlah hasilnya, pagi tadi, akibat efek alkohol yang jelas masih melekat pada otaknya. Ia membuat kesalahan, Juna mencium salah seorang anak sekelasnya, di depan semua penghuni kelas.

Entah bagian mana yang lucu. Suara tawa Steven menggelegar seantero venue. “Diem lo huh! Lo pikir apanya yang lucu!?” Rumi yang lebih karena kesal mendengar suara tawa melengking Steven memukul kepala anak itu. Lantas beralih menatap Juna dengan tatapan yang sanggup meruntuhkan gedung yang mereka huni sekarang juga.

“Ya maap. Gue kan, refleks aja denger cerita Juna.” Steven mendumel pada dirinya sendiri, mengambil satu kaleng minuman soda. Ia belum menyadari hawa mencekam yang menguar pada diri Rumi.

“Lain kali kalau mau goblok pikir dulu pakek otak lo yang katanya pinter itu!” Nada bicara Rumi berubah datar, tetapi justru itu yang membuatnya menjadi menyeramkan. Juna sendiri sadar, saat ia menceritakan kejadian tadi di hadapan Rumi, ia akan habis. Namun lebih baik Rumi tau dari mulutnya sendiri dari pada dari orang lain.

Steven yang baru paham, mengubah posisinya. Semula selonjoran tengkurap, bangkit duduk bersila. Batal menenggak colanya, berdeham. Dalam hati menyemangati Juna, semoga selamat.

“Terus gimana sama tuh cewek? Siapa namanya? Lo udah minta maaf!?”

Juna yang duduk di depan Rumi menggeleng samar, membuka kaleng soda ke sekiannya. “Johanne sam, dia anak pindahan. Tadi dia di bawa temennya yang gue juga gak kenal siapa, keluar kelas, ke UKS katanya.”

Johanne sam, Steven tau dia. Ia ingin bersuara, menjabarkan siapa Johanne sam dan teman yang di maksud Juna. Namun melihat raut Rumi yang jelas tidak bisa di senggol. Steven berakhir diam, meminum colanya. Hanya menonton adalah pilihan paling tepat.

AKU? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang