7 ❀ Life still going on

34 6 2
                                    

"Gue mau buat pameran fotografi solo buat hasil jepretan gue." Celetuk Juna di suatu sore di atas jembatan penyeberangan jalan. Menjawab pertanyaan sahabatnya yang random tetiba membahas tentang mimpi-mimpi masa depan.

"Udah, gitu doang!?" Dengan wajah songongnya, pemuda seumuran Juna yang memakan kue piyik -bentuk anak ayam- yang tadi ia beli di supermarket.

Juna mengangkat bahunya, menatap jalanan di bawah yang ramai dengan gemerlap lampu yang mulai di nyalakan. "Yah.. Pelan-pelan dulu aja. Gue juga nggak yakin bisa terlaksana. Namanya juga mimpi kan."

Pemuda itu terkekeh, bersandar pada pagar pembatas, membelakangi jalanan yang di ratapi Juna, mendongkak menatap langit lepas. "Kenapa? Pasti gegara sekte teori anak pertama yang lo anut, kan? Lo merasa punya beban tanggung jawab sama nama keluarga. Prinsip hidup lo dari dulu selalu monoton tau ngak, Na.

Kalau menurut bokap yang sekarang sih, lo nggak usah merasa terbebani. Tau kan, dia kayak begimana nggak jelasnya. Dan secara teknis, gue yang anak pertama dari keluarga bokap lo yang sekarang. Gue lebih dulu lahir dua bulan sebelum lo! Tapi kalau menurut keluarga mendiang bokap kandung lo, elo mutlak anak pertama -cucu keluarga besar pertama malah. Gue nggak bisa ikut campur kalau urusan keluarga lo yang itu.

Tapi yahh.. Apa salahnya, sih. Mimpi setinggi langit, Na!? Iya emang, namanya juga mimpi. Sekalian aja yang muluk. Nggak usah takut jatoh nanti kalau nggak kesampean. Kembali lagi, namanya juga mimpi, kita tinggal mimpi aja melayang, sambil merangkai impian-impian yang lebih tinggi lagi. Kalu sekedar bikin wish list impian doang aja takut. Gimana mau ngadepin dunia nyata yang kalu jatoh, nyosor beneran!"

Juna sekedar berdecih menanggapi sahabatnya. Anak ini sesungguhnya otaknya di atas rata-rata. Ia bisa saja mengalahkan peringkat pararel nya di sekolah, jika ia mau sungguh-sungguh dalam setiap mengerjakan soal ujian. Dia seolah bisa menghadapi setiap masalah kehidupan dengan otak dingin.

"Kalau gue, impian gue banyak. Buanyak banget malah. Dari mimpi yang normal, sampek impossible buat gue usahakan," ia berbalik, ikut menatap padatnya kendaraan di bawah. Juna menoleh sekilas untuk melihat raut yang begitu teduh di wajah pemuda itu.

"Pertama, buat misi jangka pendek ke depan. Gue mau band kita tampil di festival sekolah. Itu mudah banget mah, nggak ada band di Kwangyang yang sehebat kita."

"cih, sombong banget, lo!"

Pemuda itu mengedikkan bahu tak peduli. "Terus, nanti, di masa depan -karena gue bukan penganut sekte beban anak pertama, dan di keluarga gue yang sekarang juga udah ada kakak gue yang bakal jadi penerus nama keluarga- gue bakal jadi musisi dan penyanyi hebat. Dengan karya-karya yang melegenda, konser tour keliling dunia!

Terus pas gue udah punya nama dan penghasilan sendiri, gue bakal dateng tuh, ke orang tuanya Nana_"

"Eh, jauh banget dah! Ketinggian mah lo mimpinya. Iya kalo kalian nggak kandas tengah jalan!"

"Emang," mendongkak pada tingginya langit, "kalau buat bangun masa depan sama Nana, gue cuman berani sekedar bermimpi doang. Karena gue tau, sejak awal pun. Semesta nggak merestui kita."

Eh? Juna tidak mengerti, namun tetap diam. Kenapa memang?

"Sebab kita mengemban takdir yang sama. Sekaligus, dunia kita terlalu berbeda."

Juna sepenuhnya mengalihkan seluruh atensinya pada sang sahabat yang entah sejak kapan, ekspresinya berubah sendu. Dari raut wajah Juna sudah terlihat, Juna butuh penjelasan.

Namun, detik berikutnya, pemuda itu malah balas menatap Juna dengan muka songong khas dirinya. "Kandas tengah jalan!? Lo jangan ngehina cewek gue, ya. Lo pikir dia sama kayak cewek-cewek centil di luar sana! Yang liat bening dikit langsung pindah haluan! Gue udah kasih cincin gue ke dia, inget! Jadi gue nggak main-main udah pilih dia!"

AKU? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang