18 ❀ Johanne & Joanne

21 4 0
                                    

Di jok belakang, Anna tak henti meremat tangannya, dada yang terus berdebar. Takut, grogi, senang, entah semua campur aduk. Ia juga terus mematut diri di kaca rear view. Berulang-ulang bertanya pada Leon yang sedang mengemudi, "El, riasan gue nggak aneh, kan? Jelek nggak?" Meski tidak ada sahutan barang sekali, Anna tetap konsisten bertanya. Selama ini ia tidak pernah peduli soal polesan di wajah, tapi malam ini berbeda.

Apalagi kala mobil sudah melawati gapura besar yang begitu megah, memasuki area tempat yang akan ia kunjungi. Gelisah semakin tak terkira. Meremat dress ivory yang tadinya ia sempat cek cok dengan Leon, perihal gaun yang ingin dikenakan Anna dan gaun yang pantas untuk acara ini -dari pilihan Leon. Dan akhirnya gaun pilihan Leon yang menang.

"El, lo nanti ikut masuk, kan?"

Leon menoleh sekilas, mengangguk. Ia memakai setelan rapi jas hitam dengan kemeja putih di dalamnya, lengkap dasi juga tatanan rambut klimis.

Sekali lagi, Anna juga sudah menanyakan topik itu berulang kali. Rasanya ia jadi linglung tidak jelas. "Namun saya tidak akan mendampingi anda sampai meja makan." Akhirnya Leon bersuara, menyahut. Otak Anna juga lama menerjemahkan. Butuh beberapa saat sampai Anna mendelik, berhasil mencerna perkataan Leon.

"Hah! Tadi lo bilang iya iya. Kok, sekarang malah bilang nggak jelas kayak gini!?" tidak terima, panik. Anna sudah sedikit tenang karena ia kira akan ada Leon di dekatnya. Tapi kenapa baru sekarang, saat sudah sampai tujuan, baru menjelaskan secara jelas maksud dari kata 'iya' versi Leon.

"Selama makan malam berlangsung, saya harus menjaga jarak yang telah di tetapkan. Ini acara keluarga inti, kami tidak diperbolehkan mengetahui apa pun yang sedang di bicarakan." Mobil berhenti di lobi depan sebuah mansion bergaya klasik, seperti bangunan jaman dahulu yang arsitekturnya masih di pertahankan, namun tetap mewah dan di rawat dengan baik. Tanpa menunggu sahut rajukan Anna. Leon beranjak dari balik kemudi, keluar mobil. Membukakan pintu untuk tuan putri.

Tidak langsung menerima uluran tangan Leon. Anna menatap Leon tidak suka, untuk detik berikutnya meluruhkan bahu, meringik seperti ingin menangis. "Gue takut. Kok lo baru bilang sekarang, sih. Kalo lo nggak nemenin gue!" berbisik, Anna sungguhan ingin menangis, matanya sudah berkaca.

Tetap sabar dengan uluran tangan, Leon sedikit membungkukkan badan, mendekat. "Ada nona Hanna, juga pangeran Velic. Anda tidak sendirian. Tidak ada yang perlu di takutkan, anda tidak akan membuat kesalahan apa pun." Jarang sekali Leon melembutkan suaranya. Jika bukan untuk situasi seperti sekarang, dan hanya kepada Anna seorang. Mengusap air mata yang hampir jatuh di pelupuk mata Anna. Tidak menunggu uluran tangannya berbalas, Leon mengambil telapak tangan tuan putrinya, dingin dan sedikit berkeringat.

Hanya makan malam -katanya. Tapi bagi Anna bukan suatu hal mudah! Hendak bertatap muka dengan papanya saja, ia harus menyiapkan mental jauh-jauh hari terlebih dahulu. Malah sekarang ia harus bersapa dengan kakeknya, makan malam bersama keluarga inti kerajaan. Dua orang itu, Anna selalu menciut jika di hadapan mereka. Berbeda dengan pamannya, kakak dari sang papa. Rasanya ia lebih dekat dengan keluarga Velic daripada papanya sendiri.

Rumah besar itu adalah kediaman kakeknya, kepala keluarga -istilah lain untuk penyebutan kata raja- Aster pada masa sekarang, Raja Sammuel maeda. Yang secara teknis, adalah istana kerajaan. Pink castle namanya -terdengar norak, namun merah muda adalah ikon warna Aster. Tidak sebesar istana di negeri-negeri yang masih memakai sistem pemerintahan monarki, sebab hanya di gunakan sebagai hunian Raja. Dan istana Aster terdahulu, sekarang di jadikan sebagai museum, di kelola pihak kerajaan.

Papa dan keluarga Pamannya memiliki hunian sendiri setelah menikah, mengikuti adat yang ada. Kemudian nantinya saat memasuki masa kepala keluarga selanjutnya, pink castle akan diturunkan pula. Menjadi hunian turun temurun.

AKU? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang