21 ❀ 119

20 5 0
                                    

Ekhem!” Mobil itu hening saat Anna menunjukkan hasil riasannya. Velic hanya berdeham saking tidak bisanya berkata-kata.

Hanna menatap dua pria di kursi depan itu bergantian, melotot, heyy?! Dia minta penilaian! Bagaimana hasilnya? Apakah identitasnya sudah tersamarkan? Kenapa malah diam saja! Apakah Anna gagal? Seburuk itukah penyamarannya?!

“Jo! Ini.. ini beneran elo?!” Rayn mengangkat satu alis, menjauhkan kepala, memicingkan mata, guna menilik Anna lebih spesifik.

??” Anna memiringkan kepalakepala, dahinya terlipat. Sungguh, ia tidak paham maksud reaksi para pria ini. “Jadii...?!”

Velic berdeham sekali lagi, menggeleng-ngeleng kecil. “Dempul banget. Kayak emak-emak!” Detik itu juga Anna meluruhkan bahu, wajah yang semula cerah berubah malas.

Rayn spontan memukul bahu Velic, berdecak.

Huh... Tau ah!” Anna mendesah, bersungut untuk diri sendiri, “gue hapus aja! Gak peduli gue. Daripada keliatan kayak alien!” mengobrak-abrik tas, mencari pembersih make up.

“EEHH!” Rayn cekatan merampas tas Anna, “jangan udah!” Melototi Velic. Liat! Tantrum, kan jadinya!

“Nggak! Udah perfect banget! Malah kita pangling ama lo. Gak keliatan sama sekali kalau itu elo! Lagian elo, Velic di tanyain pendapat!” Rayn mencubit Velic, agar segera memberi respon yang benar, meralat. Anna sudah terlanjur rusak moodnya.

Velic mula enggan, akhirnya menggaruk kepala. “Gak, emang gue yang gak bener liat wajah lo tadi! Kalo di telisik lebih lama, orang yang kenal lo bakal tau ini elo. Tapi untuk yang rill nggak kenal elo mah, nggak bakal ngeh.”

Masih dengan wajah malas dan kesal, Anna geming di tempat, sinis. “Keliatan banget tau, nggak, boongnya!” berusaha merebut tasnya kembali. Tapi Rayn yang memegang tas juga tak kalah heboh mencegah.

“Serius! Gak buruk. Bagus, bagus banget malah, kok! Gak keliatan, kalau itu elo!” Rayn meyakinkan, “sumpah, gue gak boong! Demi Hanna! Tapi kenapa pakek softlens warna gradasi gitu, kenapa gak item?” Mencoba mengalihkan suasana.

“Serah gue, lah!” Tapi namanya juga Anna, tidak semudah itu.

“Sejak kapan elo bisa dandan!? Bukannya biasanya pakek bedak aja, masih butuh si robot lo itu!” Velic ber celetuk.

“LO PIKIR GUE SE MANJA ITU! LO KEMAREN LIAT PAKEK APA, PAS GUE MAKEK SKINCARE! PAKEK PANTAT!? SKINCARE AN SENDIRI GUE! GUE BISA, YA, APA-APA SENDIRI, TANPA LEON! YANG ADA ITU ELO! EMANG LO BISA APA, TANPA PEMBANTU PEMBANTU BEJIBUN DI RUMAH LO ITU!? ANJING BANGET TAU GAK ELO!” Anna jelas bersungut.

Velic sama sekali tidak ada niatan untuk ber cek cok, bertanya dengan nada baik-baik. Namun Anna yang dasarnya sudah sensi terhadap Velic langsung meledak.

Velic tentu ikut sangsi, mengerutkan alis, “Eh! Kok lo ngegas, sih! Gue kan, tanya enak-enak. Lagian emang di rumah lo__”

“heh heh udah! Ve, ngalah dulu! Jo, udah cepet selesaiin, yang belum kelar apa. Keburu lo di jemput.”

Tidak ada pembangkangan, dua anak itu menurut meski masih saling adu tatapan maut. Apalagi Velic, Rayn tak luput dari bombastic side eyes nya. Ngaca! Lo tadi juga abis ribut ama dia! Lagian dia juga yang ngegas duluan, bukan gue!

Benar saja, belum atmosfer mencekam itu memudar, ponsel Anna berdering, panggilan masuk. Terdiam satu detik, menilik log panggilan. “Anjing, udah nyampek!?” untuk detik berikutnya gelagapan mengangkat telepon.

Anna memilih membuat janji di pusat swalayan kota yang sudah sepi di tengah malam. Menepikan mobil di sudut gang. Harusnya Anna sudah keluar mobil dan stanby di tempat pertemuan sebelum jemputan datang. Tapi akibat perdebatan tak berguna tadi, sekarang bingung harus muncul dengan gaya seperti apa.

AKU? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang