Jangan lupa vote dan komen yaaa💚
.
.
.Malam itu, ruang rawat rumah sakit yang sunyi terendapkan dalam kedamaian. Cahaya samar dari lampu langit-langit membentuk bayangan lembut di sekitar ruangan yang tenang. Reihan terbaring tak bergerak di atas brankar putih yang dingin, tampak terlelap dalam tidurnya.
Marka duduk tegak di sisi kiri brankar, wajahnya dipenuhi dengan ekspresi khawatir. Matanya tak pernah lepas dari Reihan, seolah-olah mencoba menangkap setiap napas dan denyutan jantung sahabatnya. Ia meraih tangan Reihan yang dingin dengan lembut, dan menggenggamnya begitu erat, meskipun ia tahu bahwa Reihan tidak bisa merasakan kehadirannya saat itu.
Di sisi kanan brankar, Cakra juga duduk dengan serius, matanya terfokus pada layar terang ponselnya. Terlihat bahwa ia tengah terlibat dalam sebuah percakapan. Ekspresi wajahnya menunjukkan konsentrasi penuh pada isi pesan yang sedang dibaca dan tulisnya. Meski begitu, ia tetap setia berada di samping Reihan.
Di sudut yang lebih terang di ruangan itu, sebuah sofa memberikan tempat nyaman bagi Haikal yang tertidur pulas di bahu Arga. Ia duduk terjepit di antara Jendral dan Kanarga.
Jendral, yang duduk di sisi Haikal, diam-diam melepas jaketnya untuk menyelimuti pemuda itu dengan lembut, memberikan perlindungan tambahan dari udara dingin rumah sakit. Setelahnya, Jendral kembali fokus bermain ponselnya, meskipun pikirannya tetap terarah pada kondisi Reihan.
"Lo emang nggak berasa dingin, Jen?" tanya Arga dengan suara lirih sembari melihat ke arah Jendral.
"Ekal lebih butuh, Na. Lengan baju gue gak pendek pendek amat kok. Jadi, aman," jawab Jendral.
Arga mengangguk paham, ia kembali menatap layar ponsel di tangan kirinya sementara tangan yang lain terlihat sesekali menggenggam tangan Haikal dengan penuh kehangatan.
Sementara itu, Aji duduk dengan penuh konsentrasi, fokus pada laptop di atas meja. Matanya yang tak henti-hentinya menatap layar, menggarap tugas kuliah yang terperinci dengan buku modul yang terbuka di sampingnya.
Dalam keheningan malam yang sunyi di ruang rawat rumah sakit, Arga menggumam dengan penuh kekhawatiran, "Padahal Haikal aja belum sembuh total. Kenapa Reihan ikutan?" Suaranya dipenuhi rasa cemas yang mendalam ketika ia melirik wajah polos Haikal yang terlelap.
Dalam waktu yang sama, Reihan tiba-tiba mengalami batuk lemah, dan kepalanya mulai bergerak perlahan. Seolah memberi isyarat bahwa ia telah siuman. Marka dan Cakra yang duduk di sisi kanan dan kiri brankar segera berdiri dari kursi mereka untuk memastikan kondisi Reihan.
"Rei?" panggil Marka.
"Bang, bangun, Bang," sahut Cakra.
Aji dan Jendral dengan cepat meninggalkan laptop dan gadget mereka begitu saja, mendekati brankar tempat Reihan berada.
Sementara Arga, di satu sisi, ingin memeriksa Reihan juga, tapi di sisi lain, ia tak bisa mengabaikan Haikal yang tertidur di bahunya. Diam-diam, ia memperbaiki posisi jaket Jendral yang menutupi tubuh anak itu. Namun, matanya tetap terfokus ke arah brankar.
"Bang," lirih Reihan.
"Iya ini gue. Gue di sini, Rei, " kata Marka dengan suara lembut. Tangannya langsung mengenggam tangan Reihan, sementara tangan yang lainnya lembut mengusap kepala Reihan. "Gimana keadaan lo?"
Reihan merasa napasnya masih lemah, "Gue ...."
"Ji, panggil dokter dulu, tolong," pinta Cakra, yang segera diikuti dengan anggukan dari Aji. Pemuda jangkung itu langsung bergegas keluar ruangan untuk memanggil dokter.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAPTA HARSA {TERBIT} ✓
Ficção AdolescenteSERI KEDUA KLANDESTIN UNIVERSE [Sudah terbit & part masih lengkap] "Bang, tahun depan kalian umur berapa?" celetuk Aji yang bergabung dengan Haikal dan juga Marka di ruang tengah. Di tangannya menyangga gelas berisi jus jambu yang ia dapatkan dari h...