Di rumah duka yang berada di Jogjakarta, atmosfer yang dipenuhi kepedihan begitu terasa. Saat tiba di sana, Marka terhenti di depan pintu. Ia tengah berusaha meresapi kenyataan bahwa di dalam rumah itu terdapat jenazah neneknya yang baru saja meninggalkan dirinya.
Di belakang Marka, anggota Klandestin juga melangkah dengan hati yang berat. Wajah mereka tercermin penuh rasa haru dan belas kasihan.
Tangan Aji mendarat di punggung Marka. Dengan gerakan lembut, ia mengusap pelan sembari berkata, "Kita ada di sini buat lo, Bang."
Tak berapa lama setelahnya, Mama Marka keluar dari dalam rumah duka. Matanya sembab dan jejak air mata masih terlihat di pipinya. Melihat putranya, dia segera memeluknya dengan erat. Dalam dekapan hangat itu, terpancar rasa kehilangan yang mendalam, dan juga kasih sayang yang amat besar.
Pelukan dari mamanya kini menjadi tempat perlindungan bagi Marka di tengah-tengah derasnya duka. Pemuda itu membiarkan air mata kembali mengalir. Di ceruk leher ibunya, Marka menemukan ruang untuk melepaskan tangisannya, tumpah ruah di tengah rasa sakit yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
"Sudah, Le, sudah. Nenek nggak akan suka kamu nangis begini," kata Mama sambil mengusap lembut kepala Marka. Pada saat yang sama, mata wanita itu melirik anggota Klandestin yang hadir, dan dia memberikan senyuman hangat kepada mereka.
Kemudian, tanpa ragu, satu tangan Mama merangkul anggota Klandestin yang lain, menawarkan pelukan pada mereka. Detik berikutnya, tujuh anak muda itu kompak memeluk Mama, ikut menumpahkan kesedihan mereka.
"Doain nenek, ya, Anak-anak," kata Mama Marka, semua member mengangguk.
Setelah pelukan itu berakhir. Anggota Klandestin mengikuti Mama untuk melihat jenazah nenek. Langkah mereka yang penuh haru mengisi ruangan dengan keheningan yang berat. Di depan jenazah nenek, mereka merenung dalam duka, memandang wajah yang sudah tak lagi bisa tersenyum.
Meskipun hati penuh kehilangan, kehadiran mereka di sana adalah cara terbaik untuk mengucapkan selamat jalan pada nenek yang mereka cintai.
Pipi anggota Klandestin basah lagi melihat Marka yang tak bisa menahan diri. Pemimpin Klandestin itu memeluk jenazah neneknya dengan erat. Ia tidak menangis, tapi suaranya bergetar penuh dengan keputusasaan, "Nek, kenapa nenek ngelakuin ini sama Marka? Kenapa nenek pergi ninggalin Marka? Marka salah apa, nek? Marka salah apa sampai harus nerima hukuman sesakit ini dari nenek? Hmm? kenapa?" Suara-suara tanya yang mengandung kebingungan dan kepedihan itu mungkin tak akan pernah mendapat jawaban.
Dalam momen itu, tidak ada yang berani mengganggu Marka, termasuk Mama. Mereka semua merasakan betapa dalamnya rasa kehilangan yang dialami Marka. Mereka memahami bahwa itu adalah kesempatan terakhir Marka bisa bersama dengan neneknya.
🤍🤍🤍
Setelah jenazah dibawa ke pemakaman, Marka tak terlihat di sekitar. Mama memberitahu bahwa Marka ingin sendirian di kamar nenek tanpa diganggu oleh siapapun. Akhirnya, anggota Klandestin memilih untuk menyebar di sekitar rumah. Cakra dan Reihan terlihat tengah berbincang santai sambil sesekali melirik Arga dan Aji yang sibuk membantu warga memasang tenda.
"Kurang ke kiri, Bang," celetuk Cakra pada Arga yang berdiri di atas tumpukan kursi.
"O ya?" Arga segera memperbaiki. "Ji, tarik lebih kenceng talinya yang sebelah situ," katanya menginstruksikan pada Aji yang sejak awal tak berpindah dari tangga bambu yang ia pijak sembari mengikat tali tenda.
Tak jauh dari mereka, Haikal terlihat dalam perbincangan santai dengan beberapa warga, sembari menyeruput teh dan kopi. Anak itu sempat terlihat cengengesan sembari menggaruk kepala belakangnya yang tak gatal saat salah satu warga tiba-tiba menanyakan tentang kisah asmaranya.
"Saya jomblo, Pak," akunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAPTA HARSA {TERBIT} ✓
Teen FictionSERI KEDUA KLANDESTIN UNIVERSE [Sudah terbit & part masih lengkap] "Bang, tahun depan kalian umur berapa?" celetuk Aji yang bergabung dengan Haikal dan juga Marka di ruang tengah. Di tangannya menyangga gelas berisi jus jambu yang ia dapatkan dari h...