18. It ain't safe

10.5K 459 0
                                    

Stadion Garuda Sakti sudah dipenuhi oleh para suporter basket dari kedua belah tim. Kebanyakan dari mereka berasal dari murid sekolah yang ingin mendukung tim masing-masing. Tapi tidak sedikit juga para alumni atau sekedar penikmat bola basket yang ikut menonton.

Delvin mengedarkan pandangannya ketika memasuki lapangan bersama para anggota tim. Riuh rendah sorakan dari suporter segera membahana ke seluruh penjuru arena.

Di depannya, Adrien melembai dengan narsis. Melemparkan senyum terbaiknya pada para perempuan yang menenteng banner dengan bertuliskan namanya.

Delvin berjalan menuju kursi mereka. Masih dengan pandangan menyapu sekeliling tribun. Tapi berulang kali cowok itu melirik sekitar, dia tidak bisa menemukan keberadaan Dirandra dimanapun.

"Fans lo noh!" Jefan menyenggol bahu Delvin lalu mengedikan dagunya pada sekelompok perempuan yang mengangkat tinggi-tinggi banner penyemangat untuk Delvin.

Delvin tersenyum ramah yang langsung membuat sekelompok perempuan itu berteriak histeris.

"Nyariin bini lo ya?" Tebak Jefan yang langsung digelengi Delvin.

"Mana ada."

"Alesan." Jefan mendengus keras. "Awas aja kalo ampe lo gak fokus cuma karna gak ada Dirandra." Ancam Jefan yang membuat Delvin memutar bola matanya.

"Sorry, gue profesional."

"Baguslah kalo gitu. Meskipun babak kualifikasi, lawan kita gak gampang. Lo tau kan SMA Trisaka berhasil masuk semifinal dari 16 tim yang ada tahun kemaren?"

Delvin hanya mengangguk lalu mengikat tali air jordannya lebih kencang. "Tenang aja, gue gak pernah nganggap lawan enteng."

Jefan mengangguk puas lalu menepuk bahu Delvin dan mengajak cowok itu briefing singkat sebelum mulai.


***


Delvin itu pemalas. Dan bodoh.

Sejak kecil, Liliana tahu kalau anaknya itu tidak akan pernah menduduki peringkat 1 di sekolahnya. Bahkan melihat Delvin berada di urutan tengah pun Liliana sudah bersyukur.

Dan Rendra juga tidak pernah mempermasalahkannya. Pria paruh baya itu langsung mengenalkan Delvin dengan olahraga. Mulai sepak bola, berenang, panahan, hingga bela diri. Alhasil, Delvin tumbuh menjadi pecinta olahraga. Dan saat masuk SMA lah cowok itu memutuskan untuk fokus pada basket.

Tidak ada alasan khusus.

Delvin memilihnya karna melihat para kakak kelas laki-laki yang sedang demo ekskul dikagumi oleh banyak para murid perempuan. Dan darisanalah, cowok itu berkembang menjadi bibit buaya.

Tapi seiring waktu, Delvin mulai mencintai olahraga itu dan tidak lagi bermain-main dengan basket.



"Delvin!"

Jefan mengoper bola kearah Delvin tanpa menoleh. Dengan cepat melakukan give and go dan berlari menuju front court. Seisi lapangan dipenuhi ketegangan karena waktu yang tersisa tinggal beberapa detik lagi.

Tapi Delvin bahkan tidak punya kesempatan untuk melirik jam di papan score.

Cowok itu terus melakukan dribble speed dan bersiap melewati lawan yang hendak melakukan Intercept. Hingga ketika jarak mereka hanya tersisa beberapa langkah saja, Delvin melakukan behind the back pass kepada Adrien yang berlari disampingnya. Pemain lawan yang terkejut atas perpindahan bola yang cepat langsung mengalihkan pandangannya pada Adrien yang berlari mendahului mereka, tanpa sadar kalau Delvin sudah merubah langkah kaki untuk menembus pertahanan lawan.

Delvin tersenyum miring ketika Adrien mengembalikan bola kembali kepadanya. Bola memantul sekali di lantai, mendarat di tangan Delvin sebelum cowok itu melompat menggunakan kedua tumpuan kaki dan melakukan jumping jack dengan cepat.

End GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang