Happy reading
.
.
.
.
.
Pertemuan antara Tama dengan Rido selalu terasa canggung sejak kejadian dimana Tama memukuli Rido. Ketika mereka bertemu di rumah, mereka hanya akan diam saja. Luka yang berada di tubuh Rido berangsur-angsur mulai hilang bekasnya, namun sakitnya masih terasa.
Hari ini seluruh keluarga sedang berada di rumah. Rido yang sedang bermain dengan Reva di kamar Rido, sedangkan yang lain bersantai di lantai bawah.
"Kakak ayo tangkap Reva, ayo."
"Jangan lari-lari Dek, nanti jatuh lohh. Yuk kita main di kamar aja lari-larinya," ujar Rido yang mecoba membujuk Reva agar hanya bermain di sekitar kamarnya saja, karena dari tadi sang adek tidak berhenti berlari. Apalagi ketika dia mulai berlari keluar kamarnya.
"Ayo kakak kejar Reva, ayo..."
"Dek duduk dulu yuk."
Tapi semua ucapannya tidak ada yang dihiraukan. Anak kecil dihadapannya sungguh lincah!
Mereka mulai berlarian di sepanjang lorong lantai dua. Hingga ketika tiba di tangga yang menghubungkan lantai 1 dan 2 Rido melihat Reva yang akan berlari.
"Dek jangan lari- larian di tangga. Yuk kita main di sini lagi jangan ke tangga."
Reva yang mendengar ucapan abangnya pun menurut. Baru saja dia akan melangkahkan kakinya untuk naik, tapi naas kaki kecil itu tersandung oleh kakinya sendiri.
"Ahhhh."
"Brukkk."
"Dekk."
"Revaa bangunn nak!"
Bunda Saras memangku kepala anaknya yang terjatuh dari lantai dua. Sedangkan Rido mematung melihat apa yang sedang terjadi. Apalagi melihat tatapan Kak Argi yang seakan menelanjanginya. Dia pun turun ke bawah melihat keadaan adiknya. Reva tidak sadarkan diri dengan Bunda Saras yang terus menangis, akhirnya mereka pergi ke rumah sakit dengan sang ayah. Rido melihat sang ayah yang sempat berbisik kepada kakaknya itu, lalu berlalu pergi dengan terburu- buru menuju mobil dimana anak dan istrinya berada.
Rido baru saja akan melangkahkan kakinya ke luar untuk ikut ke rumah sakit, sebelum tangannya ditarik oleh kakaknya menuju halaman belakang rumah.
"Kak gue mau ikut ke rumah sakit lepasinn!"
Rido memberontak dalam tarikan yang dipegang kuat oleh kakaknya.
Sampai saat di depan gudang, Argi menghempaskam tangan adiknya.
"Plak."
"Plak."
Bunyi tamparan berkali kali terdengar. Bahkan Rido tidak diberi jeda untuk sekedar bertanya. Argi menampar adiknya sampai lima kali lalu menghajar tubuh ringkih itu sampai membuat sang pemilik tubuh terjatuh. Lalu diseretmya ke dalam gudang.
"Dasar tidak berguna. Lo ngapain nyelakain adek gue!" Bentak Argi.
"Bukan gitu kak, tadi-,"
"Mana ada penjahat yang mau ngaku! Awas aja kalo terjadi apa- apa sama Reva," ujar Argi lalu pergi meuju pintu keluar dan menguncinya dari luar.
"Kak buka pintunya, gue pengin liat keadaan Reva!"
Rido berteriak dengan tenaga yang tersisa. Tapi tak ada seorangpun yang membukakan pintu. Rido hanya bisa menangis dengan tangan yang bertumpu diantara kedua lipatan kakinya. Dia tidak membawa ponselnya. Dia hanya berharap, esok ketika dia bangun ada seseoramg yang akan membuka pintu.
Berapa menit hingga jam terlewati. Rido tertidur dengan beralaskan lantai yang berdebu. Cahaya matahari pun mulai terlihat dari satu- satunya jendela yang ada di gudang yang menandakan bahwa hari sudah berganti.
"Tok. Tok. Tok."
Rido mengetuk pintu namun masih tiada siapapun yang membukanya. Kepalanya mulai pusing dan pandangannya berkunang- kunang mengingat dia belum makan sejak kemarin siang ditambah dengan tubuhnya yang terasa sakit. Lalu semuanya terasa gelap.
Jangan lupa vote dan komen
Maaf apabila terdapat typo🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
SAHASIKA
Teen Fiction"Tempatmu pulang adalah tempat dimana ada orang yang merindukanmu" Entah mengapa, Rido selalu mengingat kata- kata itu. Kata yang didengarnya dari film kartun kesukaannya. Katanya tempat untuk pulang adalah tempat dimana ada orang yang rindu ya? Na...