Part 01

854 36 0
                                    

"Sejujurnya aku bertemu Pasha, Za. Kemarin."

Kesan yang kutangkap dari nada bicara Rieke adalah sedikit terbebani dengan keragu-raguan. Tak mungkin ia khawatir akan menyinggung perasaanku, bukan?

"Lantas?" Dengan gaya cuek, aku menyahut ucapannya. Tanganku masih sibuk memasukkan ujung sendok berisi salad buah ke dalam mulut saat itu.

"Aku melihatnya di mal, tapi dia nggak sendiri. Dia bersama Debby," beritahu Rieke kemudian. Agaknya ia sudah tidak peduli akan menyinggung perasaanku atau tidak.

Perasaanku masih baik-baik saja hingga saat ini. Meskipun aku mendengar hal semacam ini dari orang lain, aku bisa menjamin bahwa perasaanku tidak akan terluka. Sekalipun Pasha kepergok selingkuh bersama Debby atau wanita lain, tidak akan berpengaruh padaku.

"Debby itu sekretarisnya Pasha. Wajar dong kalau mereka bersama," komenku santai. "Kamu juga sudah pernah bertemu dengan Debby, kan?"

Ia tak membenarkan ucapanku.

"Kalau dipikir-pikir, sampai kapan kamu akan menjalani pernikahan ini, Za? Kamu nggak akan bisa selamanya hidup seperti itu. Kurasa Pasha juga sama."

Aku batal mengangkat sendok. Untuk ke sekian kali Rieke kembali mengangkat pembahasan tentang pernikahanku dengan Pasha.

Aku menikah dengan Pasha memang bukan atas dasar saling menyukai satu sama lain. Kami dijodohkan atas nama bisnis dan keuntungan. Dengan pernikahan kami berdua, bisnis yang dijalankan kedua orang tua kami berjalan lancar dan berkembang pesat. Jelas ini menguntungkan banyak pihak, termasuk karyawan yang bekerja di bawah naungan perusahaan kedua orang tua kami. Mereka bisa menikmati hidup yang layak dan tak perlu merasakan kekhawatiran akan di PHK atau pemotongan gaji. Namun, di pihak lain, aku dan Pasha yang mengalami kerugian, diantaranya syok dan beban mental.

"Selama pernikahan kami menguntungkan banyak pihak, aku akan tetap mempertahankannya, Ke."

"Dan Pasha?"

Aku mengedik pelan.

"Aku nggak tahu apa isi pikirannya. Kami nyaris nggak pernah komunikasi. Tapi sebelumnya aku sudah bilang kan, kami sudah sepakat untuk menerima pernikahan ini?"

"Hanya menerima, Za. Lebih tepatnya pernikahan di atas kertas. Bukan menjalani pernikahan normal seperti yang orang lain lakukan."

"Ya, memang," anggukku tak mengelak dari semua yang dikatakan Rieke.

"Ya ampun, Za." Wanita berpotongan rambut pendek itu menggeleng ringan.

"Hei," Aku mengibas persis di depan wajahnya. "Kamu satu-satunya orang yang tahu bagaimana kehidupan rumah tanggaku, Ke. Jangan sok iba seperti itu. Nggak lucu, tahu?"

"Kamu benar-benar nggak waras, Za," makinya dengan menyelipkan senyum penuh penghinaan. "Apa mungkin ada orang yang bisa bertahan menjalani rumah tangga konyol seperti yang kalian berdua jalani, hah?"

"Ada."

"Siapa? Kamu?"

Embusan napasku yang mengiyakan tebakan Rieke.

"Untuk saat ini kalian memang bisa menjalani pernikahan konyol itu, Za. Tapi beberapa tahun ke depan, semuanya akan menjadi terasa sulit. Orang-orang di sekitarmu pasti akan mempertanyakan soal keturunan. Lambat laun mereka juga akan menyadari sesuatu yang nggak beres antara kamu dan Pasha. Dan Pasha juga... Saat dia menemukan seseorang yang dia suka, dia akan berpikir untuk menemukan cara supaya dia bisa bersama orang itu. Dan kamu tahu endingnya? Pasha akan menceraikan kamu dan pernikahan kalian berakhir tamat. Kamu bisa memprediksi sendiri kelanjutannya," ujar wanita itu sambil sesekali memainkan kedua tangan mengikuti irama kalimat yang diucapkannya.

Aku hanya bisa meringis mendengarkan penjabaran Rieke tentang prediksi masa depanku kelak. Dan aku tidak menampik kalau hal itu bisa terjadi. Peluangnya cukup besar, mungkin di atas 90 persen. Dua orang yang tidak saling menyukai dan nyaris tak berkomunikasi, hidup di bawah atap yang sama, mustahil bisa bertahan. Apalagi jika salah satunya menemukan seseorang yang disukai.

"Kalau hal itu benar-benar terjadi, bagus dong. Itu artinya penderitaanku berakhir. Seharusnya aku bersyukur, kan? Yeah, meskipun aku harus mempertaruhkan nasib ribuan karyawan Papa," kataku.

Entah bagaimana nasib ribuan karyawan Papa seandainya pernikahanku dan Pasha benar-benar kandas. Mungkin akan ada PHK besar-besaran atau pengurangan sejumlah karyawan. Dampak yang lebih parahnya adalah kebangkrutan. 

"Memangnya mereka memikirkan kebahagiaan kamu, nggak kan? Kenapa juga kamu repot-repot mengorbankan kebahagiaan kamu demi orang-orang yang nggak kamu kenal?"

Perbincangan kami sedikit bergeser pada ribuan karyawan Papa.

"Penderitaan satu orang nggak ada artinya dibandingkan kebahagiaan banyak orang, Ke. Kamu nggak akan mengerti ... "

Rieke memecahkan tawa yang cukup keras. Untungnya pemilik kedai yang menjual salad buah dan beberapa pelanggan di tempat itu tidak memedulikan suara Rieke. Mereka sibuk menikmati kesegaran salad buah dan tidak terpengaruh keadaan sekitar. Sedang pemilik kedai sudah mengenal kami dengan sangat baik. Aku dan Rieke sudah menjadi pelanggan tetap di kedai salad buah itu sejak SMA. Di bangku SMA pula aku dipertemukan dengan Rieke. Dan persahabatan kami masih terjalin dengan sangat baik hingga kini. Meski hanya memiliki satu sahabat saja, aku sangat bersyukur. Mungkin karena keberadaan Rieke juga yang membuatku tegar menghadapi segala permasalahan hidup.

"Ya, kalau begitu nikmati saja penderitaanmu, Za," olok Rieke. Memaksaku harus melayangkan sebuah tinju ke pangkal lengannya. Namun, sayangnya tinjuku tidak memberikan reaksi apapun pada wanita berpakaian kasual itu. Pangkal lengannya lumayan keras. Nyatanya olahraga angkat barbel yang digemari Rieke berguna juga untuk menahan serangan tinjuku.

"Nggak lucu," desisku kesal.

"Habis ini kamu mau ke mana, Za? Mal? Nonton?"

Salad buah kepunyaanku telah tandas tanpa sisa. Perutku kenyang meskipun belum terisi sebutir nasi pun sedari pagi. Isi mangkuk di depan Rieke juga kosong.

"Aku harus balik ke butik, Ke. Kamu mau mampir? Aku punya koleksi baru. Tadi pagi baru datang," beritahuku penuh bujuk rayu. Menyeret Rieke agar sudi berkunjung ke butik adalah sebuah kesenangan tersendiri buatku. Aku bisa menjadikannya patung hidup dengan memasangkan berbagai jenis model fashion terbaru di tubuh langsingnya. Postur Rieke yang lumayan tinggi cukup menguntungkan untukku.

"Boleh," sambut Rieke tanpa perlu menimbang apapun. Jadwalnya di akhir pekan tidak begitu padat.

"Kalau begitu kita berangkat sekarang?" tawarku tak ingin berlama-lama lagi di kedai salad buah. Apalagi beberapa orang pengunjung yang baru tiba tampak kebingungan mencari tempat duduk. Sudah saatnya aku dan Rieke angkat kaki dari tempat itu.

"Ayo." Rieke pun terlihat bersemangat. Wanita itu bergegas menyambar ponsel dan tasnya dari atas meja.

Usai membayar salad buah kami, aku dan Rieke bergegas meninggalkan kedai.

***

Let Love Come To Us (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang