Part 25

474 20 1
                                    

"Kenapa kita kemari?"

Aku tersadar ketika mobil yang dikemudikan Pasha berhenti di area pelataran kantor polisi. Bukankah semestinya kami pergi ke rumah sakit? Aku yakin jenazah Rieke masih ada di sana saat ini.

"Kamu harus memeriksa sesuatu."

Ucapan Pasha seperti teka teki yang harus kupecahkan sendiri. Ia bahkan tidak memberiku petunjuk sama sekali. Tapi, beberapa menit lagi aku akan mengetahui apa yang hendak disampaikan laki-laki itu.

Seorang laki-laki sebaya Pasha telah menunggu kedatangan kami. Ia tidak berseragam seperti kebanyakan polisi yang sedang bertugas di sana, jadi aku tidak bisa menemukan name tag di pakaiannya.

Keduanya berbasa-basi ringan sebelum teman Pasha itu membawa kami ke sebuah ruangan kerja.

"Apa benar korban adalah teman baikmu?" tanya laki-laki itu padaku ketika kami telah duduk berhadap-hadapan. Beberapa lembar kertas berisi fotokopi data Rieke disodorkan ke depanku.

"Iya," anggukku. Dan aku masih bingung kenapa aku dibawa ke sini. Untuk apa juga aku diinterogasi seperti ini.

"Selain ponsel milik korban, kami juga menemukan ponsel lain di tas korban. Apa kamu bisa memeriksanya?"

Sejurus kemudian laki-laki itu menyodorkan sebuah ponsel ke hadapanku.

Aku tertegun. Ponsel itu begitu familiar. Tapi, aku perlu memeriksanya untuk membuktikan segala kecurigaanku.

Ponsel itu masih dalam posisi tidak aktif. Butuh beberapa detik hingga layar aktif sepenuhnya setelah aku menekan tombol power.

Dugaanku benar 100 persen. Begitu ponsel itu menyala, seraut wajahku yang sedang tersenyum langsung tampil di layarnya. Ponsel itu memang milikku yang hilang di kedai mi ayam dan sudah menjadi kebiasaanku untuk menggunakan fotoku sebagai wallpaper di ponselku. Jadi aku bisa langsung mengenali jika itu ponsel milikku.

"Bagaimana ponselku bisa ketemu?" tanyaku bak orang linglung. Harapanku untuk bisa menemukan ponselku yang hilang bukanlah harapan sia-sia. Namun, bukannya senang aku justru heran bukan kepalang karena benda itu tiba-tiba muncul di hadapanku. Mungkin ini terlalu cepat?

"Itu ditemukan di dalam tas korban," jawab polisi itu. Tadi ia sudah mengatakannya, tapi aku gagal fokus.

"Tapi bagaimana bisa seperti itu?" Bodohnya aku karena tak kunjung bisa menyimpulkan kasus ini.

Teman Pasha menarik napas. Ia sempat melirik ke arah Pasha sebelum menjelaskan.

"Ponsel itu ditemukan di dalam tas korban, jadi dialah yang sudah mencuri ponselmu."

"Apa?" Aku kaget. "Rieke nggak mungkin melakukan itu. Dia sahabatku ... "

"Za." Pasha menyentuh punggung tanganku dan berhasil membuatku urung melanjutkan ucapan.

Sentuhan Pasha seolah menyadarkanku. Sekeras apapun aku berusaha mengingkari fakta, kenyataan yang terpampang di hadapanku adalah kebenarannya. Apa yang kupikirkan selama ini tentang Rieke seketika berubah menjadi keragu-raguan.

Rieke yang selama beberapa tahun menjadi sahabat baikku dan satu-satunya orang yang menjadi tempatku berkeluh-kesah, ternyata berusaha menusukku dari belakang. Ia kerap meracuni pikiranku dengan menebarkan bisikan supaya aku berpisah dengan Pasha. Di balik kata-kata bijaknya, wanita itu ingin menghancurkan pernikahanku. Bukan aku yang berniat untuk bercerai dari Pasha, tapi Rieke-lah yang ingin aku berpisah. Kenapa? Karena diam-diam Rieke menyukai Pasha! Dan ia begitu pandai menyembunyikan perasaannya sehingga tidak terendus olehku sama sekali.

Bahkan Rieke memasang foto Pasha di ponselnya. Dengan susah payah wanita itu mencuri foto Pasha meski hanya dari kejauhan dan tanpa sepengetahuan laki-laki itu. Ia seperti seorang penguntit. Rieke melakukan semua itu jika bukan didasari niat buruk, lantas apa?

Sepanjang perjalanan meninggalkan kantor polisi, aku hanya bisa membisu di tempat dudukku dengan menggenggam ponsel erat-erat. Jika Pasha tidak memiliki teman di kepolisian, semua ini tidak akan terungkap. Mungkin aku tidak akan pernah mengetahui fakta yang sesungguhnya tentang sahabatku. Aku sangat bersyukur telah mengetahui kenyataan ini meski harus menelan kekecewaan yang teramat dalam.

"Kita pulang saja," ucapku sebelum Pasha mengarahkan mobil menuju ke rumah sakit.

"Baiklah." Pasha menuruti permintaanku tanpa bertanya apapun. Laki-laki itu seolah memahami apa yang sedang kurasakan sekarang. Aku butuh waktu untuk menerima kenyataan ini.

***

Let Love Come To Us (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang