Part 18

253 13 0
                                    

Rumah masih tampak gelap gulita ketika aku pulang dari butik petang ini. Pasha belum kembali. Mungkin ia mampir ke rumah sakit untuk menjenguk Papa.

Bahkan setelah aku selesai membersihkan diri dan menyantap makan malam yang kubeli sewaktu dalam perjalanan pulang tadi, Pasha belum juga datang. Ia tidak biasa pulang lebih dari jam sembilan malam, tapi kali ini adalah sebuah pengecualian.

Mataku hampir menutup sepenuhnya tatkala telingaku sayup-sayup menangkap suara deru mobil memasuki garasi. Itu mobil Pasha. Akhirnya laki-laki itu pulang juga, batinku seraya turun dari atas tempat tidur. Jam menunjuk angka sebelas malam saat itu.

"Apa kamu dari rumah sakit?" Aku menyapa Pasha begitu laki-laki itu memasuki ruang tengah. Ia menatapku dengan tatapan heran. Apa aku telah melanggar salah satu kesepakatan kami?

Pasha mengangguk pelan. Ia terlihat lelah.

"Bagaimana kabar Papa? Kapan Papa bisa pulang?" tanyaku lagi.

"Mungkin lusa."

Ah, itu kabar yang melegakan.

"Apa kamu juga mengunjungi psikiater?" Aku melontarkan satu pertanyaan lagi.

"Belum," jawab Pasha singkat.

Sejujurnya aku sedikit kecewa mendengarnya, tapi tidak apa. Pasha mungkin akan berubah pikiran suatu saat nanti.

"Oh ya, tadi tetangga sebelah memberi kita jeruk. Ada di atas meja makan. Dia mengucapkan terima kasih padamu," ucapku menyampaikan pesan tetangga kami yang datang berkunjung tadi pagi.

"Ya." Laki-laki itu hanya membalas pendek, lantas memutar tubuh dan mengayun langkah menuju ke kamarnya. Meninggalkan percakapan kami tanpa basa basi.

Tadinya aku hendak bertanya apakah aku boleh ikut dengannya menjenguk Papa besok, tapi batal. Agaknya Pasha terlalu lelah malam ini dan ingin cepat beristirahat. Aku bisa memaklumi kondisinya.

**

Sebenarnya aku bangun lebih awal pagi ini. Tapi, aku sibuk memeriksa notifikasi pesan yang masuk dari supplier dan tak kunjung keluar dari kamar hingga kudengar suara mobil Pasha pergi meninggalkan garasi. Laki-laki itu bahkan tidak sempat memberitahuku apakah aku bisa ikut pergi ke rumah sakit dengannya setelah ia selesai bekerja sore nanti. Sepertinya Pasha lebih suka tidak melibatkanku lagi untuk urusan rumah sakit dan Papa. Atau mungkin ia sedang buru-buru karena harus mengurus sesuatu.

Sementara aku juga punya kesibukan sendiri dan tidak ingin terlalu berpikir jauh tentang Pasha. Seperti kesepakatan kami, aku dan Pasha punya kehidupan masing-masing dan kami tidak akan saling mencampuri urusan satu sama lain.

Dan siapa sangka Rieke datang berkunjung ke butik siang ini. Ia punya pekerjaan di sekitar lokasi butik dan memanfaatkan momen makan siang untuk datang menemuiku. Kehadiran Rieke bak angin segar untuk ladang kehidupanku yang tandus.

"Sibuk?"

"Sedikit," jawabku sambil menjauhkan diri dari tumpukan pakaian yang masih tersimpan rapi di dalam plastik-plastik transparan. "Kamu nggak sibuk? Kenapa bisa kemari?"

"Ada pekerjaan di sekitar sini, jadi sekalian mampir. Mau mentraktirku makan siang?"

"Boleh. Kamu mau makan apa? Di sekitar sini banyak yang jual makanan," ujarku.

"Yang paling enak apa?"

"Semua enak, Ke. Nggak perlu khawatir."

"Kalau begitu kamu yang pilih, Za."

"Oke," balasku dengan senang hati.

Aku membawa Rieke ke sebuah kedai mi ayam yang cukup terkenal di kawasan itu. Jaraknya sepuluh menit dari butik jika kami menggunakan kendaraan. Selain mi ayam, mereka juga menjual bakso. Tempatnya bersih dan cukup luas. Kami tak perlu takut tidak kebagian tempat duduk meskipun pengunjung kedai itu membludak terutama di jam-jam makan siang seperti sekarang.

Kami mengantre sekitar 45 menit. Lumayan agak lama. Tapi tak apa. Rieke tidak buru-buru harus balik ke kantor, jadi masih ada waktu tersisa beberapa menit sebelum kembali ke sana. Untuk menunya kami sama-sama memesan mi ayam dan segelas es jeruk.

"Jadi bagaimana kabar Papanya Pasha?"

Pesanan kami baru saja datang dan Rieke sudah mulai menginterogasi kehidupan pribadiku. Untungnya aku sudah terbiasa menghadapi berbagai macam pertanyaan yang diajukan Rieke. Dan aku tidak keberatan untuk menjawabnya.

"Katanya sudah lebih baik."

"Lho, memangnya kamu nggak menjenguknya? Apa kamu sesibuk itu, Za?" Nada bicara Rieke terkesan heran padaku. Biasanya aku bisa meluangkan waktu untuk melakukan hal-hal apa saja. Dan Rieke paling hafal bagaimana keseharianku.

"Pasha melarangku ikut menjenguk Papanya, Ke."

"Kenapa?" Sepasang mata wanita itu membulat.

"Karena kondisi Papa sudah lebih baik, makanya Pasha bilang aku nggak perlu ke rumah sakit."

"Kamu sama sekali belum menjenguk Papanya Pasha?"

"Pernah sekali, Ke. Tapi lusa Papanya Pasha sudah boleh pulang, kok."

"Tapi meski begitu kamu harus menjenguk Papanya Pasha, Za. Bawa buah atau bunga, kek. Biar nggak malu-maluin."

"Kamu benar, Ke. Tapi bagaimana kalau Pasha marah?"

"Memangnya kenapa kalau Pasha marah? Sejak awal pernikahan kalian sudah nggak beres, kan? Kenapa masih berpikir hal-hal seperti itu?"

Perkataan Rieke ada benarnya juga. Jika aku pergi menjenguk Papanya Pasha, aku melakukannya atas nama kemanusiaan, bukan karena ikut-ikutan Pasha.

***

Let Love Come To Us (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang