Part 07

303 19 0
                                    

Jam delapan pagi. Dan aku telah selesai membersihkan diri semenit yang lalu. Untuk pergi ke rumah sakit kupikir aku hanya membutuhkan pakaian yang nyaman dan sopan. Kurasa blus polos lengan panjang dan sehelai kulot longgar berwarna pastel cocok kugunakan untuk ke rumah sakit.

Begitu juga dengan riasan. Aku hanya perlu memakai pelembab dan taburan bedak tipis-tipis. Serta lipstik sewarna bibir.

Untuk melakukan semua persiapan itu, aku hanya memerlukan waktu tidak kurang dari 15 menit.

Pasha tidak memberitahuku kapan kami akan berangkat ke rumah sakit, tapi seharusnya pagi sekitar jam ini. Aku sudah terlanjur bersiap, semestinya Pasha juga melakukan hal yang sama.

Memang aku tidak mendengar deru mobilnya memasuki garasi semalam, tapi aku yakin Pasha sudah pulang. Dan benar saja, saat aku memeriksa ke garasi, mobil kesayangan Pasha sudah terparkir di sana. Akan tetapi, Pasha belum tampak batang hidungnya.

Aku memutuskan untuk mengetuk pintu kamar Pasha untuk sekadar bertanya kapan kami pergi ke rumah sakit. Semisal ia belum siap, aku bisa menunggu selama satu atau dua jam. Ia pasti kecapekan pergi bolak-balik ke rumah sakit. Jadwal tidurnya juga berantakan.

"Sha!"

Aku mengetuk pintu kamar Pasha dengan ketukan wajar. Dengan suasana rumah yang hening, aku yakin suara ketukan pintu yang dihasilkan kepalan tanganku sampai ke telinga Pasha.

Tidak ada respon.

"Pasha! Kamu masih tidur?" Aku kembali mengetuk pintu. Namun, tetap tidak ada jawaban dari dalam.

"Jam berapa kita pergi ke rumah sakit?!" Aku berusaha mengencangkan suara. Berharap teriakanku bisa membuatnya terbangun.

Aku mengetuk lagi dan memanggil nama Pasha, begitu berulang-ulang. Namun, tetap tidak ada sahutan dari dalam.

Apa mungkin Pasha ketiduran di dalam mobil?

Pemikiran seperti itu melintas tiba-tiba di benakku. Siapa tahu Pasha terlalu mengantuk dan ketiduran setelah memarkir mobilnya.

Dengan langkah buru-buru aku kembali menuju ke garasi. Tapi, begitu sampai di sana aku tidak menemukan Pasha di dalam mobil.

Tidak mungkin Pasha menghilang begitu saja, kan? pikirku seraya berjalan kembali ke dalam rumah. Laki-laki itu pasti sedang tidur di kamarnya dan saking pulasnya sampai-sampai ia tak mendengar suaraku.

Begitu melewati depan pintu kamar Pasha, aku sempat menghentikan langkah. Apa aku harus membuka pintu kamar Pasha dan memeriksa ke dalam? batinku bimbang. Tapi, kami sudah membuat kesepakatan untuk tidak mencampuri urusan masing-masing dan kupikir menerobos masuk ke dalam kamarnya merupakan sebuah pelanggaran. Aku tidak akan melakukannya. Kubilang aku bisa menunggu satu atau dua jam hingga Pasha terbangun.

Pada akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke kamar. Perutku lapar. Selama menunggu Pasha bangun, aku bisa memesan makanan. Mungkin seporsi nasi uduk? Atau nasi dengan telur dadar favoritku?

Begitu sampai di kamar, ponsel yang kuletakkan di atas meja berbunyi. Bukan sebuah panggilan, melainkan notifikasi pesan.

Dari: Pasha
Aku sakit

Tubuhku bergeming setelah membaca pesan singkat yang dikirim dari ponsel Pasha.

Pasha sakit?

Dengan gerak refleks kepalaku menoleh ke arah pintu kamar yang sudah tertutup rapat. Padahal aku tahu mataku tidak bisa menembus bidang itu. Aku tidak bisa melihat Pasha hanya dengan menatap pintu kamarku.

Rencana untuk memesan makanan seketika menguap dari pikiranku. Kedua kakiku telah mengayun ke arah pintu dengan ponsel yang masih lekat dalam genggaman. Pantas saja Pasha tidak membuka pintu kamarnya sewaktu aku mengetuknya tadi.

Kali ini aku benar-benar mengabaikan kesepakatan yang telah aku dan Pasha buat. Aku menerobos masuk ke dalam kamar Pasha karena tidak ada cara lain yang terpikirkan olehku. Tak mungkin aku hanya membalas pesannya tanpa melakukan sesuatu, bukan?

Begitu pintu kamar Pasha terkuak, aku mendapati laki-laki itu sedang terbaring di atas tempat tidurnya dan berselimut tebal. Tangannya masih memegang ponsel, tapi kedua matanya terpejam erat. Wajahnya terlihat pucat dan ia menggigil. Dan saat aku meraba keningnya, aku bisa merasakan suhu tubuh Pasha tidak seperti orang normal. Laki-laki itu demam tinggi.

Seketika pikiranku buntu. Aku tidak tahu harus melakukan pertolongan pertama seperti apa pada Pasha, kecuali memindahkan ponselnya ke atas nakas. Sementara laki-laki itu hanya menggigil dengan sepasang mata terpejam.

Hal yang pertama terpikirkan olehku adalah menelepon Rieke. Akan tetapi, batinku menentang dengan keras ide itu. Bukankah memalukan menghubungi Rieke hanya untuk bertanya apa yang mesti kulakukan dalam situasi seperti ini? Sedangkan aku sudah berkali-kali menemukan adegan serupa dalam drama. Apa aku tidak belajar dari film atau drama yang kutonton? Pasti Rieke akan menyalahkanku seperti itu.

Aku tidak mungkin menelepon Mama Pasha sementara ia sendiri berada dalam situasi yang jauh lebih sulit. Aku tidak ingin menambah bebannya.

Kedua orang tuaku? Menelepon mereka adalah ide paling buruk yang pernah ada.

Apa aku harus menelepon dokter langganan keluarga kami? Tapi, dokter langganan kami lumayan jauh dari rumah yang sekarang kutempati.

Aku harus berpikir dengan jernih. Bukankah Pasha hanya mengalami demam? Ia bukan mengidap penyakit berbahaya. Kurasa aku bisa melakukan sesuatu sendiri. Aku tahu ada sebuah apotek tidak jauh dari komplek tempat tinggal kami. Aku bisa berkonsultasi dengan apoteker di sana nanti. Ya, seperti itu saja.

***

Let Love Come To Us (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang