Part 20

377 18 0
                                    

Kedai itu tidak memasang kamera pengawas. Mengetahui fakta itu membuat tubuhku lemas seketika. Pemilik kedai merupakan seorang bapak-bapak yang usianya sudah lebih dari 60 tahun. Wajar jika ia tidak berpikir untuk memasang kamera pengawas di dalam kedainya. Lagipula untuk memasang kamera pengawas juga membutuhkan biaya yang tidak murah.

Lalu aku harus bagaimana? Kurasa lapor polisi juga tidak akan membantu sama sekali. Sementara merelakan ponsel itu juga tidak bisa kulakukan. Aku ingin ponselku kembali.

Setelah tidak mendapatkan hasil dan tidak tahu apa yang mesti kuperbuat selanjutnya, aku memutuskan untuk kembali ke butik. Rasanya aku tidak punya tenaga meski beberapa saat lalu makan semangkuk mi ayam. Pikiranku kalut.

Salah seorang karyawati butik berusaha menghubungi nomor ponselku berkali-kali, tapi selalu tanpa hasil. Ponselku sedang tidak aktif. Bukankah itu indikasi bahwa si pencuri itu ingin menguasai ponselku?

Sekarang aku baru berpikir, kenapa dari dulu aku selalu ragu untuk memiliki dua ponsel seperti yang dilakukan orang-orang?

Pekerjaanku di butik terbengkalai. Aku hanya membiarkan pakaian-pakaian yang tersimpan rapi di dalam plastik transparan masih menumpuk di tempatnya semula.

Malam ini aku pulang sedikit terlambat. Dalam perjalanan tadi aku sempat mampir ke konter yang menjual berbagai macam ponsel mulai dari yang terbaru hingga ponsel bekas, tapi tiba-tiba saja aku urung untuk membeli setelah cukup lama melihat-lihat di sana. Dengan bodohnya aku masih berharap bisa menemukan ponselku kembali. Padahal itu mustahil. Oh, Tuhan tolong sadarkan aku.

Aku tidak tahu jam berapa ketika aku sampai di rumah malam ini. Yang pasti jalanan komplek telah sepi dan mobil milik Pasha telah menempati ruang di garasi. Lampu teras juga sudah dinyalakan. Dan aku sedang tidak peduli dengan suasana mencekam di teras kami yang hening.

Aku bahkan belum sempat mengisi perut lagi sejak siang tadi, tapi anehnya aku tidak merasa lapar. Mungkinkah ini efek dari rasa sedih yang lebih dominan menguasai pikiranku?

"Kamu sudah pulang?"

Langkahku terasa gontai saat memasuki ruang tamu. Dan suara datar Pasha tiba-tiba terdengar menyambut kedatanganku. Laki-laki itu sedang berdiri di dekat sofa dan lurus menatap ke arahku. Ekspresi wajahnya dingin dan tidak terbaca.

Rasanya aku mengulang adegan yang sama dengan malam itu.

"Ya," sahutku pendek.

"Aku tadi menelepon kamu berkali-kali, tapi ponselmu nggak aktif. Kamu tahu, aku tadi mau mengajak kamu menjenguk Papa," ujar laki-laki itu. Nada suaranya terdengar penuh kekecewaan.

"Ponselku hilang."

"Hilang?" Pasha hampir berseru saking terkejutnya usai mendengar pengakuanku. Sepasang mata laki-laki itu terbelalak.

"Ya."

"Hilang di mana?"

"Di kedai mi ayam."

"Apa kamu sudah lapor polisi??" Pasha masih mencecarku.

Aku hanya menggeleng pelan.

"Aku nggak lapor polisi," ungkapku.

"Kenapa? Mestinya kamu lapor polisi, Za."

"Polisi nggak akan bisa menemukan ponsel itu, Sha."

"Kenapa kamu seyakin itu? Kamu belum mencobanya, kan?"

"Sudah banyak kasus semacam itu terjadi, Sha. Dan sangat kecil kemungkinannya mereka bisa menemukan ponsel itu kembali," ucapku ngotot.

"Ayo ke kantor polisi. Kita harus membuat laporan kehilangan," ucap Pasha. Laki-laki itu bergerak maju ke depanku, lantas dengan tiba-tiba menarik tanganku.

"Untuk apa membuat laporan? Ponselku nggak akan ketemu, Sha." Aku berusaha untuk melepaskan tangan Pasha.

"Temanku seorang polisi, Za. Dia akan membantu kita. Kamu nggak mau pencuri itu menyalahgunakan akun pribadimu, kan?"

Tentu saja. Tapi aku sudah mengunci ponselku dengan kode tertentu dan kupikir tanpa mereset ulang ponsel itu, mustahil si pencuri bisa membukanya. Kalaupun ponsel itu direset ulang, seharusnya semua data di dalam ponsel itu terhapus secara otomatis.

Pasha memanfaatkan situasi dengan baik. Tanpa melontar basa basi laki-laki itu langsung menyeretku keluar rumah.

"Berikan kuncinya," pinta Pasha saat ia telah berhasil membawaku ke dekat mobil yang beberapa menit lalu kuparkir di halaman.

Dengan terpaksa aku memberinya kunci mobilku. Sejurus kemudian kami meluncur ke kantor polisi terdekat guna membuat laporan kehilangan.

"Apa kamu sudah makan?"

"Belum."

"Sepulang dari kantor polisi kita mampir dulu cari makan," tandasnya terkesan tegas.

Aku bahkan tidak berpikir untuk makan di situasi seperti ini.

"Aku nggak selera," balasku. Daripada kami terlanjur membeli makanan dan tidak kumakan, lebih baik kami tidak membeli apapun.

"Apa dengan kamu nggak makan ponselmu bisa ketemu?"

Hei, ada apa dengan kalimat itu?

Aku bengong menatap seraut wajah Pasha. Ia terkesan kesal padaku. Haruskah ia marah di saat seperti ini?

"Aku hanya butuh waktu, Sha."

"Kita hampir sampai," beritahu Pasha seolah dengan sengaja menutup perbincangan kecil kami.

Terserah.

***

Let Love Come To Us (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang