Part 10

358 22 0
                                    

Begitu kembali ke rumah aku meletakkan belanjaanku di atas meja yang berada dekat dengan tempat tidur Pasha. Ada sesisir pisang, setengah kilo jeruk, dan setengah kilo anggur merah. Juga sekotak martabak manis. Aku terlalu bingung untuk menentukan apa yang mesti kubeli tadi. Alhasil aku meminta rekomendasi dari tukang buah. Sedang martabak manis adalah murni ideku sendiri.

Pasha masih tertidur saat aku memeriksanya usai melahap makan malam. Tapi, saat ini bukan jadwal untuk meminum obat. Masih beberapa jam lagi.

Melihatnya tidur sepulas itu membuatku khawatir Pasha melewatkan jam minum obatnya. Jadi aku memutuskan untuk menunggu hingga jam minum obat itu tiba dengan berjaga di samping tempat tidur Pasha. Selama menunggu aku akan mengisi waktu dengan bermain ponsel. Nanti setelah Pasha meminum obatnya, aku akan kembali ke kamar dan beristirahat.

Itu rencananya. Namun, siapa sangka aku justru ketiduran. Lagi.

" ... Ya, Ma. Aku sudah mendingan sekarang. Zara merawatku dengan baik... "

Di dalam tidurku yang pulas, samar-samar aku mendengar suara seorang laki-laki berbicara. Pasti mimpi random lagi.

" ... kalau begitu salam untuk Papa. Nanti kami akan berkunjung ke sana ..."

Suara itu telah berhenti. Tidurku kembali berlanjut.

Setelah sekian lama tidur, akhirnya aku terjaga.

Aku cukup kaget ketika membuka mata. Harusnya hal pertama yang kulihat adalah Pasha karena kursiku persis menghadap ke arah tempat tidur. Tapi ini bukan. Aku malah melihat langit-langit yang berbalut cat putih bersih dengan lampu yang menyala terang.

Sontak aku terbangun.

Astaga!

Aku berada di atas tempat tidur Pasha? Dan Pasha, laki-laki itu ganti menempati kursi yang tadi kududuki. Kami bertukar tempat. Tapi sejak kapan? Siapa yang melakukan ini? Mungkinkah Pasha...

Di saat kedua mataku membelalak dan mengarah lurus pada Pasha yang sedang memejam, sedang beragam pertanyaan menyerang benakku, tiba-tiba saja laki-laki itu membuka mata. Membuatku tercekat. Seolah kepalaku baru saja dipukul dari belakang.

"Kamu sudah bangun?" tanya Pasha santai.

"Kenapa aku ada di sini?" tanyaku.

"Aku nggak tega melihatmu tidur di kursi, jadi aku memindahkanmu ke tempat tidur. Aku sedang sakit, jadi nggak mungkin membawamu ke kamar," urainya terkesan konyol.

"Kenapa nggak membangunkan aku dan menyuruhku pindah ke kamar daripada kamu memindahkan aku ke tempat tidurmu, hah?" protesku dengan nada menyalahkan.

"Melihat kamu tidur di kursi saja aku nggak tega, apalagi membangunkanmu," balasnya ingin mencari pembelaan untuk dirinya sendiri.

"Tapi kenapa kamu pindah ke kursi? Bukannya kamu sedang sakit?"

"Aku sudah mendingan."

"Sudah mendingan bukan berarti sembuh, kan?" Aku menyingkap selimut, lantas turun dari tempat tidur. "Kembalilah ke tempat tidurmu," suruhku memaksa.

Pasha melaksanakan perintahku tanpa perlawanan.

"Aku tadi membelikanmu makanan. Makanlah. Setelah itu minum obatnya."

Kami tidak pernah sedekat ini, tapi karena ulah konyol Pasha kami menjadi sok-sok akrab, bahkan sempat berbagi argumen.

Awalnya aku hendak pergi meninggalkan kamar Pasha setelah laki-laki itu meminum obatnya, tetapi urung usai mendengar pengakuannya.

"Papa sudah sadar," beritahunya.

"Benarkah?"

Laki-laki itu mengangguk.

"Syukurlah," desisku senang.

"Maaf karena aku sudah marah padamu waktu itu ... "

Pasha benar-benar marah saat itu, batinku. Dan aku sempat terbebani rasa bersalah padanya.

"Itu hanya kesalahpahaman kecil," ucapku. "Sekarang tidurlah, sudah larut malam."

Laki-laki itu mengangguk ringan.

"Makasih sudah merawatku seharian ini," ucapnya tulus.

"Itu bukan apa-apa. Jangan dipikirkan," balasku seraya mengibas pelan. "Aku balik ke kamar," pamitku memutus komunikasi di antara kami.

Ini lebih mirip dengan sebuah perdamaian menurutku. Aku dan Pasha berkomunikasi dengan baik karena didorong situasi yang tidak terduga. Padahal sebelumnya kami nyaris tak pernah melakukan interaksi apapun meski tinggal di bawah atap yang sama. Jika ini terjadi secara intens ke depannya, mungkin akan membuatku bisa bertahan lebih lama lagi untuk mempertahankan pernikahan kami.

Aku menjatuhkan tubuh di atas tempat tidur begitu sampai di kamar. Saatnya melakukan perenungan atas apa yang telah kulakukan seharian ini. Ada sepenggal drama yang kubintangi tadi. Tapi jangan berpikir jika itu meninggalkan kesan tersendiri untukku. Tidak. Itu hanya peran yang mesti kulakoni.

***

Let Love Come To Us (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang