Part 08

296 20 0
                                    

Ketika aku pulang dengan membawa obat-obatan dan juga makanan sejam kemudian, aku menemukan Pasha masih meringkuk di tempatnya semula. Kedua matanya masih terpejam dan ia menggigil.

Apoteker tadi mengatakan sebelum meminum obat demam, perut pasien tidak boleh dalam kondisi kosong. Tapi, Pasha masih tidur. Bagaimana cara membangunkannya?

Ayolah, Zara. Apa susahnya memanggil nama Pasha dan menyuruhnya bangun? Atau kalau perlu kamu mengguncang tangannya supaya dia bangun. Mudah, kan?

Pikiran dan hatiku sedang berdebat saat ini. Yeah, teorinya memang segampang itu. Tapi, prakteknya tidak. Ibarat kata aku dan Pasha tidak sedekat itu. Bagaimana aku bisa menyentuhnya?

Memangnya kenapa kalau kamu menyentuhnya? Secara hukum dan agama kalian telah sah menjadi suami istri. Lagipula ini situasi darurat, camkan itu. Atau kamu ingin Pasha sakit berkepanjangan?

Tentu saja aku ingin Pasha sembuh. Aku tahu rasanya menjadi orang sakit, sekalipun itu hanya sakit kepala ringan.

"Sha, bangun. Aku sudah membelikan obat untukmu."

Percobaan pertamaku gagal total. Mungkin volume suaraku terlalu pelan sehingga tidak bisa menjangkau alam bawah sadar Pasha. Laki-laki itu masih bergeming.

"Pasha." Dengan perasaan canggung aku mengguncang lengan Pasha pelan. Bagaimanapun juga Pasha harus bangun dan meminum obatnya.

"Pasha!" Kali ini aku mengencangkan volume suara dan mengguncang lengannya lebih keras dari sebelumnya. Dan apa? Usahaku berhasil!

Pasha membuka sedikit matanya.

"Aku tadi membeli obat demam untukmu, tapi sebelum minum kamu harus makan dulu," beritahuku dengan antusias. Aku hanya takut jika Pasha kembali memejamkan matanya. Aku akan kesulitan untuk membangunkannya nanti.

Pasha tak bereaksi. Laki-laki itu tampak lemah. Bibir dan wajahnya masih pucat.

Tadi aku sengaja membeli bubur ayam dua porsi, satu untukku dan satu untuk Pasha. Tapi untuk Pasha aku sengaja memesan hanya bubur saja tanpa lauk.

"Mau aku suapi?" tawarku berbaik hati. Di tengah kondisi lemah seperti itu, mustahil bagi Pasha untuk menyuap sendiri.

Sebelum menyuapinya, aku berinisiatif mengganjal kepala Pasha dengan satu bantal lagi agar ia merasa nyaman ketika makan.

"Kamu harus makan, lalu minum obat," ucapku sembari menyodorkan ujung sendok ke depan mulutnya.

Pelan-pelan tapi pasti, Pasha melahap bubur yang kusuapkan padanya. Namun, suapanku berakhir hanya di sendok ke-lima.

Tak apa. Yang paling penting lambungnya sudah terisi, pikirku. Dan aku merasa lega bukan kepalang melihat Pasha dengan sukarela menelan tiga jenis obat yang direkomendasikan apoteker yang kutemui di apotek tadi. Namun, tugasku belum selesai. Pasha harus melakukan hal yang sama tak kurang dari delapan jam ke depan.

Aku bergegas meninggalkan kamar Pasha setelah memastikan laki-laki itu kembali memejamkan mata. Ia butuh istirahat ekstra agar kondisinya lekas pulih. Sedang aku butuh asupan makanan sebagai sumber energi untuk melakukan aktifitas hari ini.

Dua jam kemudian aku kembali ke kamar Pasha untuk memeriksa kondisinya. Mungkin ia butuh sesuatu.

Agaknya Pasha belum membutuhkan bantuanku. Laki-laki itu tertidur pulas. Dan aku merasa penasaran, apakah suhu tubuh Pasha sudah turun? Apakah obatnya sudah bekerja?

Dengan gerakan tanpa suara, aku menghampiri tempat tidur Pasha. Orang-orang selalu menyentuh kening untuk memeriksa suhu tubuh dan aku akan memakai cara itu guna menjawab rasa penasaranku. Aku menyesal tidak membeli termometer tadi.

Aku menjauhkan telapak tanganku dari kening Pasha setelah berhasil menyentuhnya. Demamnya belum turun. Satu kali minum obat tidak akan langsung menyembuhkan penyakit. Itu teorinya.

Gerakan kakiku yang hendak melangkah ke arah pintu seketika terhenti saat ponsel milik Pasha yang tadi sempat kupindahkan ke atas nakas berdering pelan. Agaknya sebuah panggilan masuk ke ponselnya karena bunyi deringnya cukup lama.

Mungkin dari Mama, pikirku. Pasalnya aku dan Pasha berencana akan pergi ke rumah sakit berdua. Tapi mesti batal karena Pasha tiba-tiba sakit.

Tebakanku salah besar.

Sebaris nama Debby terpampang dengan jelas di layar ponsel Pasha. Kurasa mereka benar-benar memiliki hubungan istimewa.

"Halo, Pak?"

Jurus yang biasa digunakan orang-orang saat mengangkat telepon dari orang asing adalah menunggu si penelepon bicara lebih dulu. Meskipun aku mengenal Debby, aku menggunakan jurus itu saat menjawab panggilannya.

"Apa Pak Pasha nggak masuk kantor hari ini? Kok belum datang?"

Sejauh yang kudengar bahasa yang digunakan Debby masih terbilang wajar. Wanita itu cenderung sopan. Tapi aku tidak bisa menarik kesimpulan hanya dengan mendengar suara Debby.

"Maaf, Deb. Pasha sakit. Dia nggak bisa ke kantor hari ini," ucapku memberitahu kondisi Pasha.

"Oh," Debby pasti tak menyangka aku yang menjawab panggilannya. "maaf, Bu. Pak Pasha sakit apa?"

"Dia demam. Apa kamu mau ke sini menjenguknya?" tanyaku konyol.

"Maaf, Bu. Saya banyak pekerjaan hari ini. Tapi saya berharap agar Pak Pasha cepat sembuh."

Kurasa tidak ada sekretaris yang berani menjenguk atasannya ke rumah. Apalagi bertemu dengan istri atasannya. Debby pasti sangat berhati-hati dalam bertindak.

Aku menutup telepon tanpa mengucapkan apapun.

Aku sama sekali tidak cemburu pada mereka. Sekalipun ada hubungan spesial antara Debby dan Pasha, aku tidak peduli. Aku punya kehidupan sendiri. Begitu juga dengan Pasha. Kami sudah sepakat untuk menjalani hidup masing-masing meski tinggal di bawah atap yang sama. Tapi aku terpaksa melanggar kesepakatan kami karena kondisi Pasha yang sedang sakit.

***

Let Love Come To Us (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang