Part 05

366 20 0
                                    

"Zara."

Sesuatu menimpa pundakku. Semacam tepukan ringan yang berbarengan dengan sebuah suara memanggil namaku pelan. Memaksaku tersadar dari mimpi random yang menyambangi tidurku.

"Zara."

Panggilan itu kembali terdengar dan kali ini membuatku harus membuka mata.

Begitu kedua mataku terbuka, seketika aku sadar masih ada di rumah sakit. Aku masih di tempat yang sama, kursi besi yang berada tak jauh dari kamar VIP milik Papa Pasha.

"Mama?" Aku langsung menegakkan tubuh begitu mengetahui Mama Pasha telah berada di sebelahku. Wanita itulah yang sudah menepuk pundak dan memanggil namaku beberapa saat tadi. "Maaf, aku tadi ketiduran." Meskipun ketiduran bukanlah sebuah kesengajaan, tapi tetap saja aku merasa bersalah. Bisa-bisanya aku ketiduran di saat seseorang berada di kondisi yang kritis. Benar-benar memalukan!

"Kamu pasti capek," ucap Mama Pasha setengah tersenyum. Wajahnya terlihat lebih lelah daripada aku, tapi wanita itu masih berusaha untuk memahami situasiku. "Sekarang sudah pagi. Sebaiknya kamu pulang dan istirahat, Za. Biar Pasha mengantarmu pulang."

"Bagaimana kondisi Papa, Ma?"

"Masih sama seperti sebelumnya. Belum ada perkembangan."

Wajahku tertunduk lesu. Mungkin Tuhan tidak secepat itu mengabulkan doa-doa yang kupanjatkan sebelum tertidur tadi. 

"Biar kupanggilkan Pasha agar dia mengantarmu pulang," ucap Mama Pasha dengan memutar tubuh. Padahal aku ingin mencegah wanita itu, tapi tidak ada kesempatan karena Mama Pasha terlanjur mengayunkan kedua kakinya pergi.

Beberapa menit menunggu, akhirnya Pasha muncul. Tanpa Mama. Dari raut wajah laki-laki itu aku bisa menangkap secercah duka yang mendalam. Padahal Mama dan Ryan terlihat cukup tegar, tapi Pasha justru sebaliknya.

"Aku bisa pulang sendiri," ucapku setelah Pasha berhenti tepat di hadapanku. Aku sengaja berbicara lebih dulu sebelum laki-laki itu mengucapkan sesuatu.

"Ya." Pasha mengangguk.

Jawaban singkatnya yang tidak terduga membuatku salah tingkah. Tadinya aku berpikir Pasha akan memaksa untuk mengantarku pulang karena semalam kami berangkat ke rumah sakit bersama-sama.

"Aku mau pamit dulu pada Mama."

"Nggak perlu. Biar nanti aku bilang pada Mama."

Mendengarnya melarangku berpamitan pada Mama otomatis membuatku urung mengayunkan kaki.

"Aku pergi dulu." Karena tidak ada yang perlu kami bicarakan lagi, akhirnya aku memutuskan untuk berpamitan padanya. Toh, Pasha sendiri yang akan bilang pada Mama kalau aku pamit pulang.

Namun, ketika aku memutar tubuh dan hendak mengangkat kaki kananku, sosok Ryan malah muncul dari ujung lorong. Di tangannya ada sebuah bungkusan makanan. Mungkin untuk Mama.

"Mbak Zara mau pulang?" Ryan menyapa begitu kami hanya berjarak dua meter.

"Ya."

"Sendiri? Nggak diantar Mas Pasha?" Sepasang mata Ryan terarah ke belakang tubuhku. Pada sosok Pasha yang telah bersiap melangkah menuju ke kamar Papa.

"Aku bisa pulang sendiri, Yan. Lagipula Pasha harus menunggu Papa," balasku mencoba memberi pengertian. Di saat-saat seperti ini, aku dan Pasha tidak perlu menampilkan sandiwara pasangan suami istri yang harmonis, kan? Toh, perhatian semua orang terpusat pada kesehatan Papa.

"Mau aku antar? Aku juga mau pulang," tawar Ryan berbaik hati.

"Nggak perlu, Yan. Aku bisa naik taksi, kok," tolakku mentah-mentah. Aku melakukan ini semata-mata agar tidak terjadi kesalahpahaman, bukan untuk menjaga perasaan Pasha. Orang-orang akan berpikir negatif padaku apabila aku dan Ryan tampak bepergian berdua. Aku hanya ingin menjaga nama baikku sendiri.

"Kalau begitu hati-hati, Mbak." Untungnya Ryan mengerti dan tidak memaksa untuk mengantarku pulang.

"Ya."

Begitu sampai di rumah aku langsung membaringkan tubuh di atas tempat tidur tanpa membersihkan diri terlebih dulu. Aku tahu itu bukan kebiasaan baik dan tidak patut dicontoh, tapi aku memang selelah itu.

Aku juga tidak lupa untuk mengisi ulang daya ponsel sebelum memejamkan mata.

**

Rasa lapar yang menggerogoti lambungku memaksaku untuk terjaga dari tidur. Maklum sejak pagi aku belum makan apapun dan sekarang sudah siang. Jam dinding di kamarku menunjuk angka satu. Aku tidur lumayan lama.

Sudah kukatakan di awal aku tidak pernah memasak dan hanya mengandalkan makanan pesan antar. Stok di dalam kulkas hanya air mineral, buah-buahan dan sisa makanan yang tak habis kumakan. Selebihnya kosong. Mi instan pun tak ada.

Rencananya aku akan memesan makanan lebih dulu, lantas mandi. Jadi aku tak perlu menunggu pesananku terlalu lama.

Aku bergegas mencabut pengisi daya dari ponselku, lantas menyalakan benda itu. Namun, aku mendapati sebuah pesan singkat masuk ke dalam ponselku.

Dari: Pasha
Papa sudah mulai stabil sekarang. Kamu nggak usah ke rumah sakit.

Aku bengong usai membaca pesan singkat yang masuk ke dalam ponselku sesaat setelah aku menekan tombol ON. Pasha melarangku datang ke rumah sakit padahal kondisi Papa mulai stabil. Apa maksudnya?

Apa tidak aneh jika aku tidak pergi ke sana di saat kondisi Papa mulai menunjukkan perkembangan berarti? Bagaimana tanggapan Mama terhadapku? Apa Pasha sudah mengarang sebuah alasan tentang ketidakhadiranku di rumah sakit? Atau jangan-jangan Pasha masih marah padaku?

Aku melanjutkan rencana semula untuk memesan makanan, lantas pergi ke kamar mandi. Sementara isi kepalaku penuh dengan pemikiran tentang pesan yang dikirimkan Pasha padaku.

***

Let Love Come To Us (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang