Part 23

358 15 0
                                    

"Kamu pergi saja dulu, biar aku naik taksi," ucapku pada Pasha setelah kami keluar dari restoran Jepang. Kami masih berdiri di pelataran restoran dan mobil milik Pasha terparkir beberapa meter dari tempat kami berada.

Pasha bilang ia punya janji meeting dengan klien setelah makan siang dan aku tahu diri. Aku tidak mau membebaninya agar mengantarku ke butik.

"Aku bisa mengantarmu pulang," ujar laki-laki itu seolah masih punya banyak waktu untuk melakukan beberapa hal sebelum pergi menemui klien. Padahal saat ini sudah selesai jam makan siang. Kliennya mungkin sudah menunggu di tempat yang telah mereka sepakati.

"Nggak, Sha. Aku mau ke butik, tapi sungguh kamu nggak perlu mengantarku. Aku bisa naik taksi, kok. Kamu kan ada meeting dengan klien. Kasihan klien kamu kalau harus menunggu," balasku sebelum ia ngotot dan menyulut perdebatan sepele.

"Oke." Untungnya Pasha langsung setuju sehingga kami tidak perlu berbagi kalimat lebih panjang lagi. "Kalau begitu nanti aku jemput kamu di butik."

Aku tertegun mendengar ucapan Pasha. Laki-laki itu bilang akan menjemputku di butik? Apa kami sudah sedekat itu sampai-sampai Pasha berniat ingin menjemputku segala?

"Aku pergi dulu, Za. Nanti aku hubungi."

Pasha berlalu dari hadapanku usai berpamitan. Sementara aku masih bengong menatap ke arah punggungnya, lalu mengawasi mobil milik Pasha yang mulai bergerak menjauh.

Ini merupakan sebuah perkembangan yang cukup signifikan di antara aku dan Pasha. Tapi, kenapa Pasha tiba-tiba bersikap begitu perhatian padaku? Bahkan ia mau menjemputku segala.

Aku sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Rieke dan menceritakan semua hal yang terjadi beberapa hari terakhir. Sayangnya aku tidak hafal nomor kontak Rieke. Aku mesti berkunjung ke rumah kontrakannya esok atau lusa.

**

Tinggal beberapa menit lagi butik tutup, tapi aku masih belum mendapat kabar dari Pasha. Laki-laki itu juga belum tampak batang hidungnya. Apa jangan-jangan Pasha lupa dengan janjinya? Ah, itu mungkin. Sebelum ini Pasha tidak pernah menjemputku, jadi wajar jika ia lupa. Aku berusaha keras untuk memakluminya dan tidak sembarangan membangun harapan.

Bahkan sampai butik tutup, aku masih belum mendapat kabar dari Pasha. Lantas aku mesti apa? Menunggunya? Atau menghubungi Pasha?

Para karyawan butik telah pergi sepuluh menit yang lalu, sementara aku masih berdiri di teras, menunggu Pasha.

Beberapa menit menunggu laki-laki itu dan aku mulai dihinggapi perasaan ragu. Pasha mungkin lupa, batinku. Karena tidak ingin menunggu dalam ketidakpastian lebih lama lagi, aku memutuskan untuk menghubungi nomor kontak Pasha.

Beberapa kali terdengar nada dering, tapi Pasha tak kunjung menjawab panggilanku.

Apa ia sibuk? Mungkinkah pertemuan dengan kliennya belum selesai?

Aku hendak mengetikkan sebuah pesan singkat untuk Pasha ketika sebuah notifikasi pesan masuk datang ke ponselku.

Dari: Pasha
Maaf aku nggak bisa menjemputmu.

Sebaris pesan singkat yang dikirimkan Pasha seketika membuatku kecewa parah. Padahal tadinya aku sudah merasa senang dengan perhatian yang ditunjukkan Pasha padaku, khususnya hari ini. Ia membelikan aku ponsel mahal meski aku tidak pernah memintanya. Lalu kami makan siang bersama di restoran sushi. Bahkan Pasha berencana untuk menjemputku, tapi sesuatu hal membuat rencana itu batal.

Akhirnya aku pulang dengan mengendarai taksi tanpa membalas pesan singkat yang dikirim Pasha.

Tidak tampak satupun lampu yang dinyalakan ketika aku tiba di rumah. Teras terlihat gelap dan suasana mencekam langsung menyergap perasaan. Aku kembali membenarkan ucapan Rieke. Rumah kami sangat menyeramkan.

Pasha masih belum kembali hingga detik ini. Garasi yang biasa ditempati mobil miliknya kosong. Laki-laki itu masih belum menyelesaikan urusannya di suatu tempat di luar sana.

Begitu masuk ke dalam rumah, aku segera menyalakan semua lampu yang ada. Ruangan yang terang benderang akan memberi kesan 'hidup'. Dan sialnya aku lupa tidak membeli makanan sesaat sebelum pulang tadi. Aku terpaksa memesan makanan melalui jasa pesan antar makanan terdekat dari rumah.

Bahkan setelah makananku selesai diantar dan telah habis kulahap, Pasha masih belum kembali. Ketika aku bersiap naik ke atas tempat tidur pun, aku masih belum mendengar suara deru mobilnya memasuki garasi. Entah urusan apa yang membuat laki-laki itu begitu sibuk hingga harus pulang seterlambat ini. Mungkinkah ini ada hubungannya dengan kondisi Papa??

***

Let Love Come To Us (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang