Part 17

250 12 0
                                    

"Kamu nggak perlu ke rumah sakit hari ini."

Pagi ini aku baru saja melangkahkan kaki keluar kamar dan disambut suara Pasha. Laki-laki itu sedang berdiri di depan pintu kamarnya dan tampak telah bersiap pergi bekerja.

Situasiku masih berantakan saat ini. Aku belum membasuh muka dan masih setengah sadar. Rambutku juga masih amburadul.

"Kenapa?" sahutku seraya menahan diri untuk tidak menguap lebar-lebar.

"Kondisi Papa sekarang semakin membaik. Nanti setelah pulang kerja aku akan mampir ke rumah sakit untuk menjenguknya. Kamu juga punya kesibukan, kan?"

Bilang saja kalau aku tidak boleh pergi ke sana, batinku. Laki-laki itu pasti masih kesal padaku karena aku memaksanya agar pergi ke psikiater.

"Oke." Aku tidak akan banyak bertanya padanya. Toh, ucapannya sudah jelas. Aku tidak boleh pergi ke rumah sakit. "Oh ya, beritahu aku kalau Papa sudah boleh dibawa pulang."

Pasha hanya mengangguk ringan.

"Aku pergi," pamit laki-laki itu.

Sesungguhnya aku bukan orang sesibuk itu. Aku bisa meluangkan waktu untuk melakukan hal apa saja. Aku bukan Rieke yang hanya punya waktu luang di akhir pekan dan setelah jam kantor. Bicara tentangnya, aku jadi merindukan Rieke. Kurasa aku harus merencanakan sesuatu untuk bertemu dengannya.

"Halo, Za?"

Usai dari kamar mandi aku langsung menghubungi nomor kontak milik Rieke untuk membuat janji ketemu. Ini masih pagi dan kupikir Rieke belum meninggalkan rumah kontrakannya. Mungkin sedang bersiap menuju ke tempat aktivitas.

"Kamu kerja hari ini?" Basa basi itu penting untuk membuka obrolan.

"Iya, ini aku lagi siap-siap. Kenapa?"

"Nggak, aku cuma mau ngajak kamu makan salad buah lagi. Kapan kamu ada waktu, Ke?"

Sejenak kudengar wanita itu melepaskan tawa.

"Nggak usah bawa-bawa salad buah segala, Za. Bilang saja kalau kamu mau curhat soal Pasha. Aku benar, kan?"

Aku mencibir.

"Benar apanya? Aku cuma ingin makan salad buah, jalan-jalan ke mal, nonton bioskop. Kapan aku bilang mau curhat soal Pasha? Nggak pernah, kan?" Aku menampik tuduhan Rieke.

"Memangnya Pasha kenapa, Za? Daripada besok-besok curhatnya, mendingan sekarang. Aku masih punya waktu sebelum berangkat kerja."

Wanita itu masih memercayai pemikirannya sendiri, bahwa aku meneleponnya karena ingin berbagi curhatan tentang Pasha. Padahal aku sama sekali tidak bermaksud seperti itu.

"Pasha nggak kenapa-kenapa, Ke. Cuma beberapa hari yang lalu Papanya Pasha kena serangan jantung. Sekarang masih di rumah sakit, tapi kondisinya mulai membaik. Aku masih belum tahu kapan Papa bisa pulang," paparku. Akhirnya aku menjelaskan padanya situasi yang terjadi di dalam keluarga kami.

"Terus Pasha? Apa ada yang salah dengannya? Atau ada sesuatu yang terjadi di antara kalian?" Rieke mencecarku supaya aku terus membicarakan tentang Pasha. Ia selalu terkesan antusias saat kami membahas soal pernikahanku. Mungkin kisah hidupku terdengar sebagai hiburan yang menyenangkan untuk Rieke.

"Nggak ada. Kami cuma lebih banyak komunikasi belakangan ini karena kondisi Papa. Itu saja," balasku tak menjelaskan secara detail. Terlalu panjang dan lama kalau aku membahas apa-apa saja yang telah kami perbincangkan semalam.

"Belum ada perkembangan di antara kalian berdua?"

Aku ganti menertawakan perkataan Rieke.

"Perkembangan apa memangnya?"

"Apa saja."

"Nggak ada."

"Kalau masih belum ada perkembangan sampai sekarang, apa kamu masih berpikir untuk melanjutkan pernikahan kalian? Mau berapa bulan lagi, Za? Atau mau berapa tahun lagi? Oh iya, aku hampir lupa. Kebahagiaan para karyawan perusahaan Papamu kan lebih penting daripada kebahagiaan kamu sendiri. Iya kan, Za?"

"Jangan meledekku seperti itu, Ke. Itu terdengar sangat kejam, tahu nggak?"

"Aku nggak bermaksud meledek, Za. Itu kenyataannya. Kamu sendiri yang bilang, kan?"

"Iya, memang." Aku tidak menyalahkan Rieke atas apa yang pernah kusampaikan padanya. Ia hanya mengingatkan jika aku pernah berkata seperti itu.

"Tapi kalau kalian mulai bisa berkomunikasi dengan baik, kurasa masih ada peluang untuk melanjutkan pernikahan kalian, Za. Setidaknya kamu bisa bertahan beberapa bulan lagi."

Mungkin Rieke benar. Selama aku dan Pasha tidak bertengkar dan menjalani hidup masing-masing dengan baik, kurasa aku bisa mempertahankan pernikahan kami sedikit lebih lama. Terlebih lagi dengan melihat kondisi Papa Pasha yang belum sembuh benar, membuat kami bersikap lebih hati-hati.

"Apa kamu sibuk akhir pekan ini?" Aku menyudahi topik tentang rumah tanggaku.

"Sepertinya nggak. Kenapa? Mau makan salad buah lagi?"

"Aku ingin nonton bioskop, Ke. Bisa?"

"Ya, akan aku usahakan. Tapi aku nggak janji, Za. Kamu tahu sendiri kan, kadang-kadang aku ada urusan mendadak?"

"Iya, iya. Aku mengerti, kok."

"Sebelum akhir pekan aku hubungi kamu lagi, oke?"

"Kalau begitu aku tutup teleponnya. Kamu mau berangkat, kan?" Aku buru-buru menutup percakapan karena tak ingin membuang waktu Rieke lebih lama lagi. Ia mesti pergi bekerja dan aku tidak mau Rieke terlambat gara-gara kelamaan berbicara denganku di telepon.

"Oke, dah."

Beberapa menit setelah aku mengakhiri perbincangan dengan Rieke, kudengar seseorang mengetuk pintu rumah. Ini agak aneh. Pasalnya sebelum ini tidak pernah ada tamu yang berkunjung ke rumah kami. Pasha juga tidak mungkin kembali ke rumah karena kami membawa kunci rumah sendiri-sendiri.

Ternyata tetangga sebelah yang kemarin dibantu Pasha yang datang ke rumah kami. Ia memberiku beberapa butir buah jeruk sebagai ucapan terimakasih atas bantuan Pasha. Karena tak bisa bertatap muka secara langsung dengan Pasha, ia menitip salam untuk suamiku itu.

***

Let Love Come To Us (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang