Part 14

261 15 0
                                    

Aku tahu semuanya sedang tidak baik-baik saja.

Begitu turun dari mobil, Pasha bergegas masuk ke dalam rumah dan langsung menuju ke kamarnya. Tak ada perbincangan di antara kami dan ia terkesan menghindar dariku. Aku bahkan tak bisa melihat keseluruhan wajahnya, sehingga aku tidak bisa membaca ekspresi laki-laki itu.

Aku tidak tahu mesti berbuat apa untuk menolongnya atau siapa yang harus kuhubungi sekarang guna kumintai masukan. Dokter? Tidak. Menghubungi dokter sama sekali bukan ide bagus. Pasha tidak akan suka itu. Ia pasti akan menganggap aku mencampuri urusannya.

Setelah melihatnya masuk ke dalam kamar, aku pun melanjutkan langkah menuju ke kamarku sendiri. Bukan berarti aku tidak memiliki kepedulian sama sekali padanya dan mengabaikan Pasha. Aku peduli padanya sebagai wujud rasa kemanusiaan, tapi ada batasan yang tidak ingin kulampaui. Kuharap Pasha bisa mengatasi masalahnya sendiri dan semuanya berjalan normal seperti semula.

"Zara. Buka pintunya."

Beberapa detik lalu aku menutup pintu kamarku, tapi suara yang kukenali sebagai suara Pasha memintaku agar membukanya. Bukannya ia sudah masuk ke kamarnya tadi? Kenapa sekarang Pasha sudah ada di depan kamarku?

Aku melempar tasku sembarangan ke atas tempat tidur, lantas membalik tubuh dan mengayun langkah ke arah pintu.

"Ada apa?" tanyaku begitu pintu di depanku terkuak. Sosok Pasha berada tepat di hadapanku sekarang.

Pasha terlihat tak lebih baik dari sebelumnya. Wajahnya masih pucat. Sepasang matanya kemerahan dan tubuhnya tampak lemah.

"Bisa kita bicara?" pinta laki-laki itu.

Aku bengong.

Aku dan Pasha pernah berbincang berdua sebelumnya. Lebih tepatnya di malam pernikahan kami untuk membuat beberapa kesepakatan kala itu.

"Ya," anggukku kemudian.

Pasha mengirim kode lewat gerakan kepalanya. Laki-laki itu memintaku agar mengikutinya ke ruang makan. Di ruangan itu ada sebuah meja makan yang tidak terlalu lebar. Kursinya ada empat dan di sudut ruangan terdapat sebuah kulkas dua pintu.

Aku dan Pasha duduk saling berhadapan. Laki-laki itu tampak menyatukan kedua tangannya di atas meja. Ia terdiam cukup lama sebelum akhirnya angkat suara.

"Sebenarnya aku pernah mengalami kecelakaan saat di SMA," ucap Pasha mengawali penuturannya. Pengakuan yang terlontar dari bibirnya sama dengan kisah yang kudengar dari Mama Pasha tadi ketika kami berdua makan di kantin. Keduanya mengungkapkan kisah yang sama di hari yang sama. Sebuah kebetulan yang aneh.

Aku menunggu Pasha melanjutkan kisahnya. Pasti mengejutkan kalau aku membuat pengakuan padanya bahwa Mama telah menceritakan kisah itu padaku. Jadi, aku memilih untuk diam.

"Kecelakaan motor," ucapnya lagi. Ia tampak tak ingin menceritakan peristiwa kecelakaan itu lebih detail.

"Kamu masih trauma?" tanyaku ingin memastikan kondisi Pasha. Karena kulihat bibirnya terkatup rapat dan terkesan enggan untuk berbagi cerita lebih banyak lagi. Semisal tentang perasaan atau ketakutannya ketika melihat insiden kecelakaan.

Laki-laki di hadapanku mengangguk.

"Kamu nggak bilang pada siapapun tentang ini?" selidikku. Karena trauma yang tidak diobati bisa membuat hidup seseorang tidak tenang. Ia akan menderita sepanjang sisa hidupnya dan tersiksa dalam ketakutan.

Pasha menggeleng.

"Sekalipun pada Papamu?" Karena saat kecelakaan itu terjadi hubungan Pasha dan Mamanya belum sebaik sekarang. Namun, berkat kecelakaan itulah hubungan keduanya semakin membaik.

Laki-laki itu mengangguk.

Parah. Kalau Pasha tidak bercerita pada Mama, aku masih bisa memakluminya. Tapi Papa? Laki-laki itu adalah ayah kandungnya. Kenapa Pasha bisa menyembunyikan hal semacam itu dari ayah kandungnya?

Aku membuang napas kasar. Kalau saja aku tadi tidak bersama dengan Pasha, aku yakin tidak akan ada orang yang tahu kondisi mental Pasha yang sebenarnya.

"Kamu harus pergi ke psikiater, Sha. Untuk menyembuhkan penyakitmu," ucapku memberi saran. "Kamu nggak perlu bilang pada Mama dan Papa soal ini kalau kamu nggak mau. Tapi kamu harus mengobati penyakitmu."

Pasha menatapku gusar. Seperti tidak percaya dengan apa yang kusarankan padanya.

"Kamu ingin hidup normal, kan?"

"Tapi aku nggak akan melihat kejadian yang sama setiap hari. Kupikir aku nggak separah itu," tandasnya pelan. Sebuah penolakan halus atas saran terbaik yang kuberikan padanya.

"Memangnya kamu nggak pernah bermimpi tentang sebuah kecelakaan?"

"Aku baik-baik saja, Za. Aku sangat tahu kondisiku."

"Tapi yang kulihat tadi kamu nggak baik-baik saja, Sha." Aku ngotot.

"Aku bisa mengatasinya." Laki-laki itu bangkit dari kursinya. "Kumohon jangan mengatakan ini pada Mama atau Papa. Kamu bisa, kan?"

Aku hanya bisa mengawasi gerak-gerik Pasha, mulai dari saat ia mengangkat tubuh dari kursi, kemudian saat ia berjalan gontai menuju ke kamarnya, hingga ia menghilang di balik pintu kamarnya.

Aku bahkan belum menyetujui permintaan Pasha untuk tidak mengatakan apapun pada kedua orang tuanya.

Ternyata setiap individu memiliki rahasia dan ketakutan dalam diri masing-masing, termasuk Pasha. Aku hanya belum sepenuhnya mengenal Pasha.

"Terserah," desisku setelah pintu kamar Pasha ditutup dari dalam.

***

Let Love Come To Us (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang