Part 24

399 19 0
                                    

Kalau saja aku tidak melihat Pasha sedang duduk di sofa ruang tengah pagi ini, mungkin aku sudah melupakan kejadian kemarin. Aku juga sudah tidak merasa kecewa karena laki-laki itu batal menjemputku. Tapi, kapan Pasha pulang? Semalam tidurku terlalu nyenyak sehingga aku tak mendengar deru suara mobilnya memasuki garasi.

Wajah Pasha terlihat datar. Setahuku ia selalu memasang ekspresi yang nyaris sama setiap hari. Suasana hatinya terlihat stabil, kecuali saat Papa sakit. Laki-laki itu juga jarang tersenyum. Pasha bukan orang yang gampang berbagi senyum, terlebih denganku.

"Apa terjadi sesuatu kemarin?" tegurku lebih dulu sebelum laki-laki itu sempat membuka mulut. Jika terjadi sesuatu pun, aku berharap itu bukan tentang Papa. 

Pasha masih diam. Namun, laki-laki itu malah mengangkat tubuh dari atas sofa.

"Bisa kita bicara sebentar?" pintanya terkesan ingin mengutarakan sesuatu yang serius padaku.

Aku tertegun sejenak. Perkataan Rieke tentang mengakhiri pernikahanku dengan Pasha mendadak melintas cepat di benakku. Aku berkeyakinan hal itu akan terjadi suatu hari nanti. Apa mungkin hari itu adalah hari ini?

"Hal penting apa yang ingin kamu bicarakan denganku? Apa ini tentang pernikahan kita?"

Jika ini tentang pernikahan kami, aku sudah bersiap sejak awal. Perceraian kami akan membawa dampak buruk bagi ribuan karyawan Papa, akan tetapi berdampak baik untuk perasaanku. Apapun risikonya aku akan menanggungnya.

Namun, Pasha justru menggeleng pelan.

"Bukan."

Pernikahan kami merupakan hal yang serius menurutku. Apa ada hal lain yang jauh lebih serius dari pernikahan kami?

"Lalu?"

"Duduklah," suruh Pasha seraya menunjuk ke arah sofa tunggal di dekat tempatku berdiri.

Aku mengikuti perintah Pasha sementara laki-laki itu kembali ke tempat duduknya. Sejenak suasana hening menyelimuti ruang di antara aku dan Pasha.

"Aku pernah bilang kalau temanku seorang polisi, bukan?"

Aku mengangguk. Itulah kenapa Pasha ngotot agar aku melaporkan kehilangan ponsel ke kantor polisi. Ia pikir temannya yang polisi bisa membantu kami. Namun, kami tidak sempat bertemu dengannya saat itu. Teman Pasha sedang tidak ada di kantor polisi ketika kami datang ke sana.

"Kemarin aku nggak bisa menjemput kamu karena aku ditelepon temanku itu," ujar Pasha mengungkapkan alasan kenapa ia batal menjemputku.

"Kenapa dia menelepon kamu?"

"Aku diberitahu ada seseorang yang mengalami kecelakaan kemarin. Pihak kepolisian mengumpulkan barang-barang milik korban dari TKP dan membawanya ke kantor polisi untuk dilakukan pemeriksaan identitas. Setelah diperiksa, ternyata si korban ini menggunakan fotoku sebagai wallpaper di ponselnya. Dan temanku mengenali foto itu, makanya dia langsung menghubungiku. Dia pikir aku kenal dekat dengan korban," tutur Pasha berusaha menjelaskan kronologi kejadian dengan sejelas-jelasnya.

"Kok bisa? Memangnya kamu mengenal korban itu?" tanyaku penasaran.

"Dia mengambil foto itu tanpa sepengetahuanku."

Pengakuan Pasha membuatku semakin tergelitik. Aku penasaran setengah mati.

"Memangnya siapa korban itu? Apa aku juga mengenalnya?"

"Dia ... sahabatmu, Za."

"Sahabatku?" Aku hanya punya satu sahabat di dunia ini. Rieke. Jangan katakan kalau korban kecelakaan itu adalah Rieke. "Jangan bilang kalau itu Rieke... " Sesungguhnya aku terlalu takut untuk menebak. Namun, aku tak bisa mencegah datangnya rasa takut yang tiba-tiba menyergap perasaan.

Pasha membenarkan dengan menggumam lirih.

Aku menelan saliva, tapi tak langsung meledakkan tangis.

"Bagaimana keadaannya sekarang?" tanyaku dengan perasaan campur aduk.

Pasha bungkam. Laki-laki itu seolah sengaja ingin menyembunyikan kondisi Rieke yang sesungguhnya.

"Katakan padaku, Sha. Bagaimana keadaan Rieke!"

"Dia sudah nggak ada, Za. Aku baru mendapat kabar dari temanku kalau Rieke meninggal tadi pagi."

Oh.

Sekujur tubuhku lemas seketika. Tanganku gemetar. Jantungku memacu tak keruan. Pun tangis yang belum sempat kuledakkan tadi, kini pecah dan air mata berhamburan keluar membasahi pipiku.

Bagaimana ini bisa terjadi pada Rieke? Kenapa mesti dia, ya Tuhan?

***

Let Love Come To Us (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang