Part 22

351 15 0
                                    

Aku turut bersyukur karena kondisi Papa kian membaik dan ia sudah diperbolehkan pulang hari ini. Hanya saja dokter menyarankan agar Papa banyak istirahat dan tidak melakukan aktifitas berat. Ia juga harus rutin minum obat dan menjaga pola makannya.

"Apa nggak sebaiknya kalian menginap di sini barang semalam saja?"

Setelah mengantarkan Papa kembali ke rumah, Pasha buru-buru berpamitan. Namun, Mama terkesan tidak rela kami hanya singgah sesingkat itu. Mama bermaksud menahan aku dan Pasha agar tinggal di sana lebih lama. Bahkan wanita itu menawarkan agar kami menginap.

Aku dan Pasha saling berpandangan. Sedang Papa yang kini sudah berbaring di atas tempat tidurnya sendiri, menatap kami berdua dengan penuh harap.

"Iya, Sha. Papa juga kangen pada kalian berdua." Papa ikut menambahi agar keinginan Mama dapat kami kabulkan.

"Mungkin lain kali, Ma, Pa. Hari ini aku ada meeting dengan klien selepas jam makan siang. Zara juga sibuk mengurus butiknya." Ternyata Pasha pandai mencari alasan untuk menghindar dari kedua orang tuanya.

"Apa nggak bisa ditunda meeting-nya? Atau biar Ryan saja yang menggantikan kamu."

"Nggak bisa, Ma. Kalau ditunda, kami mesti menyesuaikan jadwal lagi dengan klien. Lagipula Ryan juga punya urusan sendiri. Kasihan kalau dia harus menghandle banyak pekerjaan."

"Ya, sudahlah." Meski tampak kecewa, Mama akhirnya pasrah. "Oh, iya. Apa sudah ada kabar baik dari istrimu, Sha?"

Aku bengong. Kabar baik apa?

"Belum, Ma. Nanti kalau ada kabar baik, pasti kami kabari," balas Pasha yang langsung tanggap dengan maksud pertanyaan Mama. "Kalau begitu kami pergi dulu, Ma, Pa. Papa cepat sembuh, ya. Jaga diri baik-baik, banyak istirahat, dan jangan banyak pikiran."

"Iya. Kamu juga harus menjaga istri kamu dengan baik dan hidup bahagia," ucap Papa balas menasihati.

"Baik, Pa."

"Hati-hati di jalan, Sha. Jangan ngebut kalau nyetir." Mama turut memberi nasihat untuk Pasha.

Aku dan Pasha hanya singgah beberapa menit di rumah kedua orang tuanya. Bahkan kami tidak sempat untuk minum teh atau duduk barang sejenak melepas penat. Agaknya Pasha benar-benar sibuk hari ini, sampai-sampai ia menolak permintaan Mama untuk menginap. Meski sesungguhnya aku merasa lega saat Pasha mengatakan 'mungkin lain kali' pada kedua orang tuanya. Aku seperti sedang diselamatkan dari sesuatu.

"Kita mampir dulu membeli ponsel baru untukmu," ucap Pasha sesaat setelah mobil yang dikemudikannya meluncur perlahan keluar dari halaman rumah kedua orang tuanya.

"Bukannya kamu sibuk hari ini? Lagipula aku bisa membelinya sendiri nanti."

"Masih ada waktu sebelum bertemu klien. Kita juga masih sempat untuk makan siang," ujar Pasha.

Beberapa hari belakangan aku sedikit merasa aneh dengan situasi semacam ini. Sebelumnya aku dan Pasha jarang berkomunikasi, tapi akhir-akhir ini kami justru semakin dekat karena kondisi Papa. Apakah ini bisa dikatakan sebagai sebuah perkembangan? Rasa-rasanya aku harus berkonsultasi tentang hal ini pada Rieke. Ah, tapi ponselku hilang. Aku belum bisa menghubunginya.

Nyatanya Pasha memilihkan aku sebuah ponsel keluaran terbaru. Harganya lumayan menguras kantong untuk ukuran sebuah ponsel. Meski memiliki sejumlah tabungan lebih, aku akan berpikir dua kali untuk membeli ponsel itu. Pasalnya uang sebanyak itu dapat kugunakan untuk berbelanja pakaian dan bisa dijual kembali dengan jumlah keuntungan tertentu.

Tapi tidak dengan Pasha. Ia justru ngotot untuk membelikan ponsel itu untukku. Dan sikap Pasha menurutku tidak biasa. Namun meski begitu aku tetap menerima ponsel itu. Tak ada pilihan lain. Toh, Pasha tampak ikhlas membelikan aku ponsel mahal itu.

"Biar aku simpan nomor ponselku." Pasha mengambil alih ponsel baru itu dari tanganku. Kami telah selesai bertransaksi, tapi masih belum beranjak meninggalkan konter.

Pasha mengetikkan sejumlah nomor di ponsel baruku, lantas melakukan sebuah panggilan singkat.

"Sudah tersimpan," ujarnya seraya mengembalikan ponsel itu ke tanganku.

"Ah, iya." Aku menerima ponselku, lalu memasukkannya ke dalam tas. Sejurus kemudian kami melangkah keluar dari konter.

"Kamu mau makan apa, Za?" tanya Pasha ketika kami berjalan ke tempat parkir.

Pasha bilang kami masih punya waktu untuk makan siang sebelum ia bertemu dengan klien.

"Mau sushi?" tawarnya kemudian.

"Boleh," balasku tak keberatan. Lagipula aku juga sudah lama tidak makan sushi.

"Oke. Setahuku di sekitar sini ada restoran Jepang. Kita makan di sana saja," gumamnya.

Pasha benar. Beberapa menit dari konter ada sebuah restoran Jepang. Agaknya Pasha telah mengenal kawasan itu dengan baik. Kami memutuskan untuk makan siang di sana.

***

Let Love Come To Us (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang