Part 02

375 14 0
                                    

Aku dan Rieke sampai di rumah kontrakannya sekitar jam setengah delapan malam. Setelah menutup butik jam enam tadi, kami menyempatkan diri mampir ke tukang nasi goreng kaki lima yang berjualan menggunakan tenda. Sebenarnya aku tidak berlangganan di tempat itu, tapi demi melihat jajaran motor yang terparkir di tepi jalan, membuatku penasaran. Pedagang makanan yang banyak diserbu pembeli menandakan jika rasa makanan yang dijualnya di atas rata-rata.

Setengah hari tadi aku dan Rieke menghabiskan waktu di butik dengan menjajal berbagai model pakaian baru. Rieke sebagai modelnya, sementara aku berperan sebagai fotografer dadakan. Aku sudah terbiasa menggunakan foto-foto Rieke untuk dipasang di toko daring kepunyaanku. Rieke pun tidak keberatan aku menggunakan fotonya dan ia tidak meminta bayaran sama sekali. Itulah gunanya teman baik.

"Pasha biasa pulang jam berapa?"

Di saat kami sedang asyik menikmati nasi goreng sembari menonton siaran televisi, lagi-lagi Rieke menyinggung soal Pasha. Perbincangan kami di kedai salad buah tadi siang pastilah belum cukup untuk Rieke.

"Jam segini juga biasanya sudah pulang," sahutku sambil menggigit kerupuk.

Meskipun Pasha sudah berada di rumah di jam segini, akan tetapi, tidak ada interaksi di antara aku dan Pasha. Sekalipun kami tinggal di bawah atap yang sama, aku lebih sering berada di dalam kamar. Begitu pun Pasha. Kami hanya pergi ke dapur untuk mengambil air minum. Selebihnya tidak ada kegiatan yang berarti di dalam rumah itu. Aku tidak memasak dan hanya mengandalkan makanan pesan antar saat berada di rumah. Aku juga tak pernah melihat Pasha makan di rumah selama kami tinggal bersama. Laki-laki itu selalu makan di luar.

Kami juga tidak memiliki asisten rumah tangga. Aku biasa memakai jasa tukang laundry yang setiap dua hari sekali datang ke rumah untuk mengambil pakaian kotor. Pasha pun sama. Sedangkan untuk kegiatan membersihkan rumah, aku memanfaatkan jasa tukang bersih-bersih. Mereka datang untuk melakukan pembersihan seminggu sekali.

"Benar kamu nggak punya perasaan apapun padanya?"

Aku hampir tersedak saking kagetnya mendengar pertanyaan konyol yang meluncur pelan dari bibir Rieke.

"Untuk dua orang yang nggak saling berinteraksi atau berkomunikasi, apa mungkin bisa jatuh cinta?" tanyaku bermaksud menggugah akal sehatnya. "Bagaimana bisa aku menyukai orang yang hampir nggak aku kenal, hah? Jangan gila, Ke. Pertanyaan kamu nggak masuk akal," makiku sedikit kasar.

"Bukannya Pasha menarik, Za? Secara fisik dia nggak punya kekurangan. Bukankah dia tipe suami idaman?" Rieke terus mengujiku dengan pertanyaan-pertanyaan konyol seputar Pasha. Entah Rieke yang justru memiliki ketertarikan pada Pasha ataukah itu hanya sekadar pertanyaan iseng, sulit kutebak.

"Mungkin. Tapi aku nggak tertarik padanya. Sama sekali," tegasku meyakinkan Rieke.

"Rumah kalian pasti menyeramkan saat malam," komennya.

"Ya, anggap saja seperti itu," sahutku ceplas ceplos. "Tapi untungnya rumah kami nggak terlalu besar, Ke."

"Tapi sama saja seperti rumah tanpa penghuni," timpal Rieke sigap. "Kamu mengurung diri di dalam kamar, Pasha juga. Hari-hari yang kalian lalui pasti sangat membosankan."

"Dan aku sudah berhasil melaluinya selama tiga bulan ini."

"Itu masih bukan pencapaian luar biasa, Za. Kalau kamu bisa bertahan sampai tiga tahun, itu baru bisa dikatakan pencapaian luar biasa."

Aku langsung tergelak mendengar ucapannya. Setidaknya Rieke sudah mengisi hari-hari yang kulalui menjadi sedikit lebih berwarna.

"Apa keluarga kalian masih belum mengendus sesuatu?"

Aku berpikir sebentar.

"Kurasa belum."

"Itu artinya kamu masih aman sampai saat ini, Za."

"Ya, kamu benar. Tapi aku nggak tahu sampai kapan aku akan berada di zona aman, Ke. Mana ada rahasia yang nggak terbongkar?"

"Kamu sudah memutuskan untuk menjalaninya, kan? Jadi terima saja risikonya, Za."

Aku menarik napas panjang. Seakan-akan sesuatu yang buruk akan terjadi suatu hari nanti.

"Mau nonton film sebelum pulang, Za?" Rieke berinisiatif mengakhiri pembahasan tentang Pasha dan pernikahan kami. Seolah ia tahu aku mulai kehilangan semangat hidup karena percakapan itu.

"Nonton film apa?"

"Horor?" tawarnya sembari meraih laptop dari atas meja.

"Jangan horor, Ke," cegahku. Bukan masalah kalau kami menonton film horor saat siang hari. Tapi sekarang sudah malam. Aku pasti akan terbayang-bayang dengan sosok makhluk astral dalam film yang kami tonton. Alhasil aku akan mengalami kesulitan tidur nantinya.

"Oh iya, rumahmu kan sudah menyeramkan. Nggak perlu lah kita nonton film horor." Rieke sengaja meledekku habis-habisan. Sedang aku tak punya jurus untuk membalas wanita itu. Rieke tak punya celah untuk kujadikan bahan olok-olok.

Rieke merupakan wanita yang mandiri. Ia tinggal sendiri di sebuah rumah kontrakan dan belum menikah. Selama kami berteman, aku belum pernah melihatnya dekat dengan seseorang. Rieke juga tak pernah bercerita tentang urusan asmaranya. Yang kutahu kedua orang tuanya berpisah saat Rieke duduk di bangku SMA. Ibunya menikah lagi, begitu juga dengan ayah Rieke.

"Seharusnya kita beli cemilan dulu tadi, Za." Rieke baru saja kembali ke sampingku setelah memeriksa isi kulkasnya yang nyaris kosong.

"Kita kan baru saja makan, Ke."

"Tapi kalau nonton nggak enak kalau nggak ngemil, Za."

"Ya sudah, kamu beli cemilan sana, gih," suruhku sembari melempar kode agar ia mengambil sejumlah uang dari dompetku yang tersimpan di dalam tas. Meskipun Rieke tidak pernah bermasalah dengan urusan finansial, aku cukup tahu diri sebagai sahabatnya. Dan aku selalu merasa senang bisa mentraktirnya walaupun itu hanya sekadar makanan ringan.

"Oke, sip. Aku beli cemilan dulu ya, Za. Awas, jangan diputar dulu filmnya," ucap wanita itu dengan nada mengancam.

"Iya, iya. Tapi jangan lama-lama," balasku sedikit kesal. Mau nonton film saja ribet, sungutku dalam hati.

*** 

Let Love Come To Us (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang