PMK 23 - EMOSI

39 14 17
                                    

"Pesanan rice bowl-nya minta dibatalkan."

Lisa yang mendengar itu tentu saja emosi. Dia dan Lastri sudah capek-capek memasak dan dibatalkan begitu saja seenaknya.

"Orangnya udah bayar belum sebelumnya, te?" tanya Lisa menggebu-gebu.

"Cuman bayar seratus ribu aja buat uang DP."

Pening seketika menyambar Lisa. Orang kurang ajar mana yang berani memainkan dagangan orang seperti ini. Benar-benar tidak bisa diterima lagi jika orang itu memesan kembali ke sini.

"Alamat orangnya di mana, sih, te? Biar aku sendiri yang ngomong ke orangnya," kesal Lisa, emosi pun sudah di ubun-ubun.

Lastri menatap Lisa ragu. Jika Lisa menemui Bu Jihan di rumah bisa saja menimbulkan pertengkaran antar mereka. Namun, jika dibiarkan pesanan sebanyak ini siapa yang akan memakan dan membeli.

"Tante nggak usah khawatir ... aku tetep ngontrol emosiku kalau sudah sampai sana," ujar Lisa menangkap raut khawatir Lastri.

"Bener, ya? Jangan sampai kelewatan emosinya. Tante nggak mau bikin keributan," papar Lastri menatap Lisa sendu.

"Iya, Tante. Pokoknya nanti aman." Aman jika dia bisa mengendalikan amarahnya. Lisa memberikan jempolnya pada Lastri dan tersenyum kecil.

Setelah menimbang apa yang diinginkan Lisa, Lastri pun mengantar Lisa menuju ke rumah Bu Jihan yang tak terlalu jauh.

Lisa menelisik depan rumah yang terlihat sepi. Jika saja orang yang memesan tersebut membuat dia adu mulut, dia tak setengah-setengah untuk meladeni.

Lastri mengetuk pintu rumah sembari memanggil Bu Jihan. "Bu Jihan! Assalamualaikum ...."

Lisa ikut mengetuk pintu sedikit kasar ketika ketukan pertama tak ada tanggapan. Lastri mendelik melihat tingkah Lisa yang mengundang pertengkaran.

"Dibilang jangan bikin pertengkaran, Lisa, ya ampun," keluh Lastri memijat keningnya yang semakin pening.

"Habis nggak ada respon begini, mau melarikan diri nggak mau tanggung jawab gitu setelah batalin pesanan dadak!" sungut Lisa melirik pintu rumah yang tak kunjung terbuka.

Selesai berbicara begitu, keduanya mendengar pintu rumah terbuka. Tampak Bu Jihan di depan pintu sembari berkacak pinggang.

"Oh Bu Lastri ... ada apa, Bu?" tanya Bu Jihan seakan tidak sadar dengan apa yang baru saja dia lakukan.

"Begini, ibu tadi bilang pesanannya nggak jadi kenapa mendadak sekali, Bu?" Lastri bertanya berusaha meminimalkan nada suara agar tidak terdengar emosi.

"Iya ... saya batalkan. Ternyata acaranya anak saya di sekolah dan sudah ada panitia konsumsi yang menangani," jelas Bu Jihan. Dari nada suara dan ekspresi, Lisa tak melihat maupun mendengar terselip rasa bersalah sedikitpun pada ibu Ayara.

"Kenapa sebelumnya nggak konfirmasi terlebih dahulu kalau mau dibatalkan, Bu? Seharusnya, H-3 atau H-2 ibu konfirmasi dulu ke Bu Lastri kalau mau dibatalkan!" timpal Lisa yang langsung memberondong Bu Jihan.

Bu Jihan lantas menatap Lisa tak suka. "Kamu siapa ikut-ikutan urusan saya sama Bu Lastri!" Bu Jihan setengah berteriak menanggapi ucapan Lisa.

"Saya anak temennya Bu Lastri. Bu ... punten, ya. Kita ke sini secara baik-baik mau tanya kejelasan pesanan ibu yang mendadak dibatalkan begitu aja. Kalau mau dibatalkan lunasi dulu itu pembayaran rice bowl-nya," tuntut Lisa menuding ke arah samping menuju posisi rumah Ayara.

"Ngapain saya lunasi pembayaran! Kan, saya sudah bilang, kalau saya batal memesan!" kekeh Bu Jihan tak mau membayar.

"Ya nggak bisa begitu dong, Bu! Ibu sendiri yang konfirmasi dadak ke kita sementara pesanan sudah siap semua!" Lisa sudah tak bisa lagi menahan emosi dan nada tutur kata yang lembut untuk meladeni Bu Jihan.

Pengangguran Masa Kini Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang