Author POV
Di tengah gelapnya malam, di jalan mawar di ujung kota, langkah kaki yang begitu berat tanpa alas kaki membelah kegelapan yang hanya di terangi lampu jalan yang temaram.
Langkahnya sedikit pincang. Namun, tak membuat cowok itu menyerah untuk menuju tempat tujuannya saat ini.
Wajah tampannya nampak babak belur, bau amis darah yang mulai mengering di bajunya bukan menjadi penghalang untuk ia sampai pada tempat tujuan.
"Gini banget sih, Zayn hidup lo." cowok itu tertawa miris menertawakan nasib hidupnya sendiri.
Wajah letih nampak jelas di wajah tampan itu. Tawa sendu menghiasi wajah babak belur cowok itu. Fisiknya baik-baik saja, tapi hatinya jauh dari kata baik-baik saja. Dia butuh tempat untuk mengadu, tapi tidak tau pada siapa ia bisa berkeluh kesah. Semuanya tampak rumit dengan segala penderitaan yang ia alami.
Jika boleh meminta, bisakah tuhan mencabut nyawanya sekarang saja? Dia sudah tidak sanggup untuk menopang tubuhnya yang perlahan mulai rapuh ini. Tak ada yang bisa ia lakukan selain mengikuti alur takdir yang jauh dari kata sempurna.
Zayn Raden Altezza, cowok malang yang harus merasakan pahitnya kehidupan.
_oOo_
Setelah menempuh perjalanan berkilo-kilo meter. Akhirnya, cowok itu tiba di depan gerbang hitam menjulang tinggi yang menggilingi rumah bertingkat bergaya Eropa itu.
Tangannya sedikit bergetar untuk membuka pagar rumah itu. Untung saja ia bisa mengingat alamat yang disebutkan bundanya tadi.
Zayn menghembuskan nafas lega saat berhasil menempuh perjalanan jauh dengan hanya berjalan kaki.
Senyuman tipis terukir di bibir cowok itu saat berhasil membuka gerbang rumah itu. "Tuhan selalu menunjukkan jalan mulus agar gue bisa datang ke tempat yang sebenarnya bukan tujuan gue sejak awal. Tapi kenapa tuhan begitu sulit untuk menunjukkan jalan tanpa duri itu pada gue?"
Semua rasa sakit sudah terlalu sering ia rasakan. Hingga tak jarang batinnya terus bertengkar untuk mengakhiri hidupnya yang tanpa arti ini. Namun, ada satu orang yang terus memintanya untuk tetap hidup pada garis takdir ini. Shaka Laut Samudra, adik laki-laki yang selalu menjadi suport agar ia tetap kuat untuk menjalani hidup.
"Capek tuhan," gumam Zayn.
Pandangannya mulai mengabur, tubuhnya sedikit oleng. Tangan Zayn bertumpu pada dinding pagar. Hingga kegelapan benar-benar merenggut kesadarannya.
Namun, sebelum benar-benar kesadarannya hilang. Zayn dapat mendengar teriakkan seseorang yang mampu membuat cowok itu tersenyum.
"ZAYN!"
_oOo_
Cahaya remang-remang perlahan memasuki rentina cowok yang berusaha membuka mata itu.
Tangannya sedikit terangkat untuk menghalangi cahaya yang menyilaukan mata. Ringisan kecil keluar dari bibir cowok itu. Hingga ia tersadar bahwa kini ia sedang berbaring di atas ranjang yang terasa empuk.
Diliriknya sekeliling kamar yang asing di matanya. Hingga netranya berhenti di sebuah pintu yang perlahan terbuka. Ternyata seorang wanita setengah baya yang membuka pintu itu dengan senyuman sendu yang menghiasi wajahnya..
"Mana yang sakit hm? bilang sama bunda, Zayn." Wanita itu perlahan mendudukkan bokongnya di sisi ranjang di samping cowok itu.
Tangannya terangkat mengelus rambut hitam milik Zayn. Hingga tangannya berhenti di wajah Zyan yang terdapat lebam. Di elusnya pelan wajah cowok itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Hujan Berhenti [ Hiatus ]
Teen Fiction"Gue lebih baik sering ngerasain cape fisik daripada cape batin." "Kenapa gitu?" "Soalnya cape fisik cuma sebentar, tapi kalo cape batin cape nya lebih lama. Bahkan akan tetap membekas di hati sampai rasanya mau mati." °°° Balapan, baku hantam...