Chapter 7: My Journey to You

11 5 0
                                    

Menyaksikan bagaimana temannya dihina di hadapannya, Maera pun naik pitam, dia mengentakkan kakinya dan melayangkan tendangan tinggi pada Nao yang sukses ditahan juga oleh pria itu. Maera tetap tak tinggal diam, dia menurunkan kakinya lalu melakukan putaran tiga ratus enam puluh derajat dengan menendang dada pria itu sampai membuahkan hasil.

Di sanalah terjadi perkelahian satu lawan satu, tepatnya menggunakan tangan kosong Maera dan Nao mengadu kemampuan mereka. Sora hendak membantu tapi kini dia harus berdiam diri di tempatnya, karena sebuah moncong senapan diletakkan oleh wanita menyebalkan yang merangkap sebagai rekan Leon di pelipis Sora. Sora pun menggertakkan giginya marah, kemudian melangkah mundur dengan menurunkan pedangnya. Kecepatan wanita itu dalam menarik pelatuk tidak bisa dia tandingi dengan menggunakan pedangnya.

Di sisi lain, perkelahian Maera dan Nao masih berlangsung sengit. Tak hanya beradu tendangan, mereka juga saling memukul satu sama lain. Akan tetapi, sayangnya tak satu pun pukulan Nao berhasil mengenai wajah cantik Maera, begitu terjadi tentu saja membuat Maera tersenyum penuh kemenangan. Gerakan Maera terhenti kala ujung mata pedang berada tepat di depan kedua matanya yang hanya berjarak hanya sekitar dua senti saja.

Dia sama sekali tidak terkejut, justru Maera tersenyum remeh. "Kau yang begitu hina karena mendapatkan bantuan dari rekanmu saat satu lawan satu," hinanya.

"Apa kau cemburu?" tanya pria itu.

Nao tidak tersinggung sama sekali. Dengan jari-jarinya dia membenarkan poni yang kotor karena sepatu Maera yang telah memberinya tendangan bertubi barusan. Nao menjepit pedang hologram milik rekannya dengan kedua telapak tangan, kemudian mendekatkan wajahnya pada Maera.

Dia pun berkata, "Kau cantik jika dilihat sedek—"

Bugh!

Maera langsung melayangkan pukulan keras sampai Nao harus tersungkur di bawahnya. "Hati-hati kalau bicara!" tegurnya.

Nao mengusap sudut bibirnya yang meneteskan darah, pukulan tadi tidak main-main, dia sudah menduga hal ini akan terjadi tapi dengan sengaja tidak menghindarinya.

"Pukulan wanita cantik memang berbeda," ungkapnya.

"Berhenti bermain-main, Nao!" tegur Leon.

"Apa salahnya? Aku hanya ingin dekat dengan wanita cantik seperti mereka!" sahut Nao.

"Tidak bisakah kalian pergi saja?!" Kanna bersuara lantang mengusir mereka. "Anjingku ... anjingku Miosen sudah kurawat dengan susah payah, tapi kalian menbunuhnya dengan keji!" bentak wanita itu.

"Kau itu ya! Justru Leon membantu rekan seperjuangannya agar tidak digigit anjing rabies itu!" sarkas Nao.

Leon memicingkan mata. "Aku tidak nafsu lagi dengan mereka. Ayo pergi!" ajaknya.

"Yah ... kenapa secepat itu? Tidak bisakah tinggal? Siapa tahu aku bisa akrab dengan nona-nona ini!" protes Nao.

"Kau boleh tinggal," tutur Leon.

Mata Nao pun berbinar, dia menatap bahagia para wanita di belakangnya. "Aku menolak. Aku masih ingin hidup dan memilih bertarung melawan God daripada mereka. Jadi ... sampai jumpa di tempat lain, cantik-cantikku. Itu pun jika kalian berhasil bertahan hidup."

Terdengar seperti ketulusan yang menyebalkan.

Mereka bernapas lega ketika Leon memutuskan untuk menghentikan pertikaian tersebut dan pergi dengan damai. Namun napas mereka kembali tertahan kala langkah Leon terhenti beberapa saat kemudian. Leon berbalik dan menarik pelatuk pistolnya yang sukses menembus tulang Ryo.

"Woah, tembakan yang bagus!" puji Noa, dia tertawa tanpa dosa.

"Bajingan kau!" umpat Alexa.

"Ingatlah hadiahku itu, pastikan kita kembali bertemu dengan kau yang sudah berkembang!" Leon memasang wajah datar. — Dan tunjukkan kalau kau bisa menguasai Black Sword seperti Komandan Lana.

Indonesian War: Black SwordTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang