Chapter 4: Gone

8 5 0
                                    

"Keputusan kami semua untuk berpisah bukan kesalahanmu. Terima kasih sudah hidup dengan baik dan mengorbankan nyawamu sampai akhir."

Lana meletakkan tangannya pada batu nisan milik Amura. Di belakangnya ada Chrollo dengan leher yang diperban sampai batas dada yang tertutup oleh seragam pasien, di tangan kirinya pria itu membawa payung untuk menghindari hujan, memiringkan sedikit benda itu agar Lana juga ikut berteduh dan membiarkan bahu kanannya basah.

"Kami akan baik-baik saja setelah ini, kau tidak perlu mencemaskan apa pun," kata Chrollo di depan makam sang adik. Sekuat apa pun dia meyakinkan dirinya sendiri bahwa kematian Amura bukan kesalahan mereka, semakin terluka lah hatinya.

Lana membenarkan payung Chrollo ke semula, membiarkan hujan mengguyur tubuhnya, toh dia juga sudah basah kuyup karena berdiri di bawah air hujan selama berjam-jam. "Sampai jumpa di tempat lain, sampaikan juga salam perpisahanku pada Kenno dan Sasha, Chrollo."

"Tunggu!" Chrollo menghadap pada Lana, lalu menyerahkan sarung tangan kepada wanita itu. "Ambil ini, untuk menutupi lukamu setelah perbannya dibuka. Pasti membekas seperti leherku, 'kan?"

Di masa kini, Lana mengingat kembali pertemuan terakhirnya dengan Chrollo. "Kau wakil yang hebat," gumamnya. — Kau harus memikirkan dirimu sendiri sekarang. Aku harap bisa bertemu denganmu lagi sebelum mati.

Lana mendongak, merasakan rintik-rintik kecil menghantam wajahnya dengan kasar. Hujan di musim gugur telah tiba, batin Lana sembari menengadahkan tangan kanannya. Lana kemudian meletakkan Black Sword miliknya di atap gedung sebelum memutuskan untuk melangkah sendirian.

"Kejar aku setelah kalian menjadi orang hebat."

***

"Kanna, kau sudah sadar?" panggil Kazama antusias.

Ryo yang mulanya terlelap seketika membuka mata karena dikejutkan oleh teriakan sang teman. Dia dan Iori mendekat pada Kanna yang bersandar di dada Kazama. Iori segera mengecek suhu tubuh Kanna dan luka yang sudah dirinya jahit sebelumnya.

"Apa lukamu terasa sakit? Aku sudah memberikan obat pereda nyeri kepadamu karena lukamu sangat dalam, tapi beruntung tulangmu baik-baik saja," jelas Iori.

Belum sempat Kanna menjawab, Raney berlari ke arah mereka dengan tergesa-gesa. "Oi, apa kalian melihat Lana?" tanya Raney panik.

Ke empat orang itu hanya saling bertukar pandang, kemudian menggelengkan kepala secara serempak. Helaan napas kasar lolos dari bibir Raney dan Sora, mereka berdua mengusap wajahnya kasar sembari berkacak pinggang. Sepertinya amarah Lana lebih besar daripada yang mereka pikirkan. Keduanya juga sudah berpencar untuk mencari keberadaan wanita itu, tapi hasilnya nihil, di atap atau pun di luar Kota Lama pun tetap tidak bertemu.

Kanna terdiam untuk beberapa saat. Dia merasa bersalah atas kekacauan yang terjadi semalam. Lana lebih berguna ketimbang dirinya, jika wanita itu pergi maka itu artinya orang-orang ini juga akan menyusul Lana. Seorang anggota pasti tidak mungkin membiarkan pemimpinnya bertarung sendirian bukan?

"Dia pergi, jadi tidak perlu dicari!" ujar Alexa.

"Hah? Dia pergi?!" teriak Sora dan Raney serempak.

Mereka memusatkan atensi pada Alexa yang berjalan masuk tanpa beban dengan pakaian basah kuyup, di tangan kanannya terdapat Black Sword yang sempat Lana tinggalkan semalam tepat di atap gedung. Alexa menatap Ryo yang mengerutkan keningnya bingung, kala wanita itu menyodorkan sebuah pedang padanya tanpa basa-basi.

Ketika semua orang menyibukkan diri pada penduduk dan Kanna yang sedang terluka semalam, Lana berdiri sendirian di tempat nyamannya dan disusul oleh Alexa. Akan tetapi, Alexa terlambat dan hanya menemukan pedang itu saja. Dia tidak membenarkan tindakan berbahaya Lana pada Kanna, namun itu termasuk bentuk kepercayaan tersendiri baginya. Berurusan dengan Lana itu harus rasional, bukan emosional. Selagi mereka bersikap demikian, mereka akan bertahan dalam waktu yang cukup lama.

Sadar bahwa teman-temannya meminta penjelasan lebih detail, Alexa hanya menggeleng setelah memberikan Black Sword pada Ryo. "Hanya ini yang dia tinggalkan di atap, aku sudah menemukannya sebelum Raney datang ke sana."

"Hah? Dia benar-benar pergi?" tanya Sora.

"Lalu kenapa pedangnya ditinggalkan untuk Ryo?" tanya Raney juga.

Iori ikut bertanya, "Apa dia meninggalkan surat?"

"Satu-satu teman-teman!" Alexa menghirup oksiden sedalam mungkin sebelum menjawab pertanyaan beruntun mereka. "Dia pergi dan meminta kita untuk menjaga Kota Lama, sampai mereka bertiga bisa bertarung dengan para monster itu." Alexa menunjuk tiga orang di hadapannya seolah mereka merupakan tersangka tindak kriminal.

"Dia mungkin berniat akan menyapu bersih monster di depan agar Kota Lama aman. Sendirian!" tegas Alexa.

"Kau benar, Lana orang yang seperti itu." Raney menundukkan kepalanya, merasa sedih.

"Bagaimana kalian tahu itu?" tanya Kazama.

"Kami sudah saling mengenal sekitar sepuluh tahun. Kami yang paling memahami manusia sepertinya," jawab Sora.

"Lana pasti baik-baik saja!" tegas Iori.

"Ngomong-ngomong ... di mana Maera?" tanya Alexa celingukan.

"Tidak denganmu?" Sora justru berbalik melemparkan pertanyaan yang dijawab gelengan kepala oleh Alexa. "Ke mana dia?"

Ketika yang lain sedang sibuk mencari keberadaan Maera, Ryo justru membeku di tempatnya sekarang. Pria itu sempat membuka pedang yang diberikan oleh Lana, fakta bahwa pedang itu bermata dua tidak terlalu mengejutkan ketimbang nama Kamizawa Ryo yang terukir di ujung pedangnya.

Di lain tempat, ternyata Maera sedang menyibukkan dirinya di belakang bukit yang masih berada dalam area Kota Lama. Dia sedang berlatih sendirian saat ini. Maera melampiaskan amarahnya dengan melatih kemampuan berpedang, juga beladiri seperti taekwondo dan karate, kecuali menembak.

Maera murka dan benci kepada dirinya sendiri. Tembakannya semalam, tanpa orang lain sadari telah melesat pada Lana yang tengah bertarung di dalam asap, padahal biasanya tidak seperti ini. Akan tetapi, ternyata satu-satunya orang yang ditemui Lana sebelum pergi merupakan Maera. Dengan memberikan sedikit motivasi agar Maera berjuang lebih keras lagi, serta menitipkan anggota lainnya pada wanita itu, Lana juga menegaskan kalau dirinya baik-baik.

"Luka ini tak lebih sakit daripada keadaan kita saat ini. Kita meninggalkan keluarga kita, membuang semua yang kita miliki untuk masa depan yang lebih baik. Kau tidak boleh jatuh hanya karena satu kesalahan, Maera."

"Sialan! Bagaimana aku bisa memaafkan diriku sendiri? Bagaimana kau bisa tersenyum meski bahumu menanggung banyak beban?!" teriak Maera, dia menendang pohon di depannya yang sudah terkikis karena dijadikan samsak sepanjang malam. Sudah ratusan kali tindakan itu dia lakukan bukan untuk melatih kecepatan tendangannya, tapi melampiaskan rasa dalam hatinya.

Luka tembak di bahu dan lengan kiri Lana adalah ulahnya, bertanggungjawab dengan melakukan pertolongan pertama seperti mengeluarkan amunisi pun tetap membuat Maera masih merasa tidak tenang. Terlebih lagi ... dia harus menyembunyikan kesalahannya itu dari yang lain atas permintaan Lana.

Mereka semua memahami fakta bahwa Lana bisa meninggalkan mereka kapan saja. Bergerak sendirian dan ditelan oleh kesepian sudah biasa bagi wanita itu. Maera merindukan Lana yang dulu, Lana yang sering mengajaknya berolahraga di pagi saat hari libur dan kemudian pergi ke perpustakaan umum.

Maera kemudian bersandar di pohon itu, memandang kosong nabastala tak berawan. "Tujuan terbesarmu itu ... Kamizawa Ryo, 'kan, Lana?"

To be continue

1072 word.

Indonesian War: Black SwordTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang