Chapter 8: Violet

10 4 0
                                    

"Memandangnya seperti itu bisa membuat bunganya layu," sindir Chrollo.

Lana terkekeh pelan. "Bunga Violet menggambarkan bulan Februari, kau tahu itu?" tanya Lana.

Chrollo menggeleng. Dia ingat kakak perempuannya sangat menyukai berbagai jenis bunga. Setiap akhir pekan selalu datang ke taman berbunga atau tokonya, kemudian menyempatkan diri mengikuti kompetisi menghias bunga dan rela menghabiskan uangnya untuk hal-hal yang membuatnya bahagia ketimbang membeli pakaian baru. Apa kini sang kakak perempuan sudah bertemu si bungsu di atas sana? Mereka tidak marah 'kan jika nanti dirinya datang secara tiba-tiba menyusul mereka?

Chrollo berjongkok di hadapan Bunga Violet yang dipandang Lana, dia mencabut bunga itu dengan sekali sentakan. Jika kakaknya masih hidup, dia akan protes mengenai tindakan Chrollo yang bisa dibilang sembarangan merusak alam, wanita itu pasti akan mengomel sampai besok, lusa dan diungkit sepanjang waktu.

"Kakak ... juga lahir di bulan Februari," ungkap Chrollo.

"Dia pasti menyukainya," kata Lana.

Bunga Violet melambangkan kesetiaan dan cinta yang abadi. Terlepas itu, Bunga Violet juga menjadi lambang pernyataan niat yang sebenarnya. Sama seperti perasaan yang berada di dalam lubuk hati Chrollo, dia sangat setia dan menyayangi anggota keluarganya yang telah tiada.

Chrollo meletakkan Bunga Violet di ujung atap dan menindihnya dengan batu berukuran sedang. Chrollo pun menyempatkan diri berdoa untuk sang kakak dan Amura yang telah kembali kepada pangkuan-Nya. Di belakang pria itu, Lana berdiri dengan sabar menunggu sang teman menyelesaikan ritualnya. Tidak butuh waktu lama, Chrollo dan Lana turun ke bawah untuk melanjutkan perjalanan mereka.

Keduanya mendapati bahwa rekan-rekan mereka sedang memilih aksesoris di sebuah kotak hadiah, agaknya gedung ini dulunya adalah tempat bermain anak-anak, dilihat dari wanaha yang terbengkalai dan kini menjadikannya sebagai medan perang tak dipungkiri kalau hal-hal yang membahagiakan tersebut pernah singgah dalam kehidupan mereka.

Chrollo sadar usia rekan-rekannya ini berada di bawahnya. Terutama yang paling muda berusia sekitar delapan belas pada tahun ini. Akan tetapi suatu kemampuan tidak diukur dari usia mereka, begitu pula pola pikir kedewasaan. Chrollo berharap mereka semua bisa pulang dengan selamat dan kembali ke pelukan keluarga mereka masing-masing. 

Di ujung barat, cakrawala begitu elok dengan warna jingga kemerahan menandakan matahari akan segera tenggelam dan mengizinkan bulan menunjukkan kemegahannya. Mereka memutuskan untuk singgah di dalam gedung, berjaga-jaga jika para monster muncul secara tiba-tiba saat tengah malam.

Siang pun berganti malam, teriknya matahari telah tergantikan oleh dinginnya bulan. Malam ini sangat gelap, tidak ada aliran listrik yang dapat memberikan energi pada lampu-lampu dalam gedung. Ketika malam hari mereka hanya mengandalkan sinar bulan atau membuat api unggun. Terkadang kegelapan akan menelan kala bulan tertutup oleh awan dan suara hewan-hewan kecil yang mengoceh di malam hari pun bisa dibilang cukup menenangkan.

Agaknya, mereka bisa tidur dengan nyenyak karena tidak ada tanda-tanda serangan.

Chrollo menghampiri Lana yang berdiri memperhatikan rembulan yang berhasil meloloskan diri dari kumpulan awan. Dia menyeret kursi reyot yang kiranya masih aman jika diduduki olehnya, mendekat pada Lana. Wanita itu selalu melakukan hal sama setiap harinya. Memandangi bulan, gemintang dan terutama langit gelap. Suasana hati seseorang tidak selalu tergambarkan oleh ekspresi wajahnya. Terkadang daripada menipu orang lain, mereka lebih sering berbohong pada diri sendiri.

"Teman-teman lamamu itu kau tinggalkan di Kota Lama, 'kan? Tanpa surat mereka tidak akan mengerti maksud dari pedangmu yang kau tinggalkan," ujar Chrollo.

Indonesian War: Black SwordTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang