Hari demi hari berlalu, Widya melihat Ata yang sudah mulai tenang. Dia terkadang membicarakan Bapaknya sambil menangis. Namun, ada hal yang mengganjal dari Ata.
Hari ini adalah hari ujian terkhir, tetapi Widya jadi memikirkan sesuatu. Dia melirik Ata yang tampak duduk sambil serius mengerjakan latihan soal yang dia cari di internet semalam. Sejujurnya Widya sedikit terganggu dengan sikap Ata yang tampak ragu-ragu untuk memilih SMA.
Kenapa Ata harus ragu? Ini hanya SMA.
Tak seharusya dia ragu karena bukankah seharusnya mereka satu tim. Mereka berjanji tidak akan terpisah lebih jauh dari ini. Hanya SMA 1 dan SMK 1 yang memiliki tim voli yang bagus di daerah mereka. Widya sendiri memilih SMA karena pelatih club mereka ada di sana.
Kalau sampai Ata pilih SMK, Widya tak terima. Ini artinya Ata akan satu tim dengan Arfi yang merupakan musuh besarnya.
Widya lalu mengingat sepanjang pertandingan Voli yang selalu dia hadapi. Ata selalu mencetak poin untuk timnya. Akan curang apabila tim Arfi mendapatkan Ata. Ata akan selamanya ada di tim yang sama dengannya. Tim Jati Wesi.
Ata tampak menutup bukunya sejenak. Dia lalu memainkan handphonenya sebentar dan membuka bukunya lagi. Bunyi notifikasi muncul dari handphone Widya.
Dari Ata?
"Kita ketemuan di gardu yuk! Ada yang pengen aku omongin," ucap Ata pada pesan tersebut. Hati Widya langsung merasa tak enak setelah membacanya.
Harus banget pake chat padahal lagi deketan gini?
***
Langit siang begitu terik. Widya terheran kenapa Ata mau memanggilnya di hari yang panas ini hanya untuk mengobrol. Walaupun kini mereka berdua duduk di gardu yang teduh, tetap saja sinar matahari membuat mata mereka terasa silau.
"Kamu mau ngomong apa sih? Serius amat kayaknya."
Ata lalu tertawa mendengar ucapan Widya. "Ya emang serius. Tapi tunggu Nirmala dulu."
"Oh, ngajakin Nirmala juga?" Ata mmenganggukan kepalanya.
"Dia kemana sih? Kebiasaan deh suka banget telat!" Widya mengeluh.
Ata mendengus kesal. "Coba kamu telpon deh, Wid!"
"Dih, ogah!" ujar Widya melirik Ata sinis.
Ata berdecak lalu mengeluarkan HP-nya dan segara menelpon Nirmala. "Woy buruan sini!"
"Iya ini lagi di jalan." Nirmala terdengar tertawa dari teleponnya.
Ata memutar bola matanya kesal. "Dasar orang!"
Telepon itu ditutup. Widya dan Ata terdiam. Gerakan dari Ata tampak canggung dan serius. Ini membuatnya bingung. Setelah mengobati perasaannya dari kematian ayahnya, Ata tampak terkadang terlihat begitu tertekan. Kali ini dia tampak grogi seakan-akan ingin mengatakan sebuah rahasia besar.
Pandangan Widya teralih mendengar suara sandal jepit yang mendekat. Itu pasti adalah Nirmala. Terlihat cewek itu mengguakan kaus oblong dan celana pendek selutut berjalan mendekat.
"Kenapa sih?" tanya Nirmala heran.
Widya hanya mengangkat bahu dan menunjuk Ata menggunakan dagunya. "Oke, aku mau ngomong sesuatu sama kalian."
"Yaudah sih, ngomong aja."
Ata mengehembuskan nafasnya. "Pertama-tama kalian berdua plis jangan marah." Widya dan Nirmala saling lihat seketika. "Aku sebenarnya nggak pengen ngebuat keputusan ini. Ini mendesak banget dan aku... aku gak ada pilihan. Jadi, aku mohon kalian jangan marah."
"Emangnya mau ngomong apa?" tanya Widya.
"Iya ngomong apa sih?"
Ata lalu memain-mainkan jarinya. Dia lalu membenarkan posisi duduknya dari bersila menjadi berlutut. "Aku besok nerusin ke SMK dan aku bakalan pindah latihan ke Kencana Biru."
Suasana hening seketika. Ata sampai merinding sendiri menatap wajah terkejut dari Widya dan Nirmala. "Aku minta maaf."
Kencana Biru adalah club dari tim voli yang menjadi rival abadi tim Jati Wesi. Di sana, terdapat musuh bebuyutan Widya yaitu Arfi. Ata berusaha untuk menenangkan diri dan berdoa agar Widya dan Nirmala mengerti keadaannya.
Nirmala menghembuskan nafas berat seketika. Dia melirik ke arah Widya. Karena setidak terimanya dia Ata pindah, pasti perasaan itu tidak apa-apanya dengan perasaan Widya.
"Kamu pengkhianat sih Ta," ujar Widya. Ata pernah terpikir bahwa salah satu dari mereka berdua akan mengucapkan hal itu, tetapi tetap menyakitkan ketika itu diucapkan.
"Aku juga gak bingung Wid!"
"Bingung gimana? Nggak bisa kamu ke sekolah lain aja?"
"SMK yang deket dari rumah ya itu doang Wid! SMK 1 Gendengabang."
"Gak perlu juga kan sampai pindah ke Kencana Biru?" ucap Widya meninggi.
Nirmala tak sanggup mengucapkan satu patah kata pun. Dia marah dengan Ata sebab itulah dia membiarkan Widya memaki Ata.
"Kok kamu jadi bentak aku sih?"
"Ya karena kamu berkhianat!" ucap Widya. Kerutan di dahinya semakin dalam tanda luapan emosinya.
Ata menatap Widya dengan wajah tak habis pikir. "Berkhianat gimana? Kamu lupa, Tasya keluar dari Jati Wesi karena apa? Karena jadwal latihan SMK bentrok sama jadwal latihan Kencana Biru!"
"Kan bisa diakalin nanti sih! Kenapa harus berkhianat segala!"
"Berkhianat apanya sih Wid!"
Widya menunjuk Ata. "Ya berkhianat lah Ta! Kamu lupa kita dari SD, SMP, lawan sama siapa? Kencana Biru. Kamu lupa?"
Nirmala terkejut dengan gestur Widya. "Gaes! Gaes!" ucap Nirmala panik sambil memisahkan mereka berdua.
"Eh gak usah nunjuk dong! Lebay amat sih!" ujar Ata mulai kesal.
"Lebay? Inget kamu siapa di tim kita, Ta. Kamu tuh Opposite bahkan di tim SMA Jati Wesi kamu masih jadi tumpuan buat nyetak poin! Ya aku kesel dong ngelepas kamu ke mereka!"
Ata menghembuskan nafasnya mendengar penuturan Widya. "Memangnya kenapa gak ke SMA aja? Katanya kamu pengen kuliah," sambung Widya.
"Ya karena bapak udah gak ada dan sekarang aku harus mikirin gimana caranya biar bisa cepet dapet kerja," ujar Ata merasa frustasi karenna Widya masih tak mengerti posisi temannya sendiri.
"Bapakku juga gak ada. Tapi aku tetep milih SMA dan bakalan kuliah nanti!"
"Ya jangan samain keluargaku sama keluargamu dong!" kali ini kalimat Ata yang meninggi. "Kamu mah enak ibu kamu kaya. Dia punya rumah makan dan sekarang lagi buka cabang keempat." Ata dan Widya saling bertatapan dengan sengit.
"Ibuku serabutan Wid. Dia pagi jualin donat. Siang ke rumah Bu Dewi buat bantuin jahit. Sorenya dia bersih-bersih di rumahnya Pak Damar."
Ata menelan ludahnya sebelum menlanjutkan, "Dan dia masih berusaha agar aku bisa menuhin sekolah dan hobi aku Wid!"
Widya tak mengubah ekspresi marahnya. Dia menatap Ata yang berkaca-kaca. Ata menghembuskan nafasnya sejenak mencoba menenangkan diri dan beranjak keluar dari gardu. Widya lalu mengusap rambutnya dengan kasar, setelah melihat Ata berjalan menjauh.
Nirmala terdiam. Ini adalah pertengakaran terbesar mereka. Dia berlutut mencoba menenangkan diri. Nirmala masih menatap Ata yang berjalan menjauh. Harus dengan siapa Ata menggantungkan nasib tim?
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
Yah, Aku kena Writer block