Pagi hari terasa begitu sejuk, sudah mulai terdengar suara orang-orang yang berkegiatan di pagi hari ini. Seperti biasa Shani akan membangunkan ketiga adiknya, pergi ke sekolah adalah hal yang wajib bagi ketiga adiknya. Dengan lembut Shani membangunkan Muthe dan Christy, Zee memang sering bangun sendiri, dia lebih mandiri dari kedua adiknya yang lain.
Shani juga memasak untuk mereka, walaupun hanya tahu dan juga nasi tapi mereka tetap memakannya, sudah terbiasa makan dengan sederhana seperti ini. Shani memegang kepalanya yang terasa begitu pusing, tangannya pun bergetar dengan pengelihatan yang buram.
Zee menyadarinya. "Kak? Kenapa?" katanya dengan nada khawatir, dia langsung menyentuh bahu Shani.
"Gapapa-gapapa." Dia memijat keningnya sendiri, berharap agar rasa pusingnya menghilang.
"Kakak sakit? Lebih baik hari ini gausah kerja dulu aja." Zee begitu khawatir sekarang, wajah Shani terlihat pucat pun memaksakan tersenyum. Muthe dan Christy pun begitu khawatir, apalagi mereka tau penyakit yang di idap oleh Shani.
Setelah rasa pusing Shani mulai hilang, dia mulai tersenyum lebar lagi supaya ketiga adiknya tidak lebih khawatir padanya. "Udah jangan khawatir. Kakak gak kenapa-kenapa." katanya begitu lembut sambil mengelus puncak kepala adik-adiknya satu persatu.
Zee sedikit lebih tenang, tapi tidak dengan Muthe dan Christy, wajah mereka masih terlihat khawatir. Setelah selesai sarapan mereka semua mulai keluar dari rumah. Shani berjalan sendirian di depan, sementara ketiga adiknya di belakang, sibuk mengobrolkan mengapa langit berwarna biru, kenapa tidak hijau saja. Lalu di lanjutkan dengan kenapa kita bisa bergerak, lalu kenapa jika nafas manual terasa pengap.
Shani yang berada di depan pun terkadang terkekeh kecil sambil menggelengkan kepalanya. Obrolan mereka yang begitu random membuat Shani sesekali tertawa pelan, apalagi melihat Zee dan Christy yang terlihat sangat senang membahas sesuatu yang membuat berpikir keras, berbeda dengan Muthe yang terlihat malas mendengarnya, dia malas membahas sesuatu yang seharusnya tidak di bahas. Dasar duo filsafat! Itu batin Muthe.
Mereka sampai di depan gang. Zee, Muthe dan Christy langsung menyalami Shani, Shani pun membalasnya dengan senyuman manis dan juga elusan lembut di kepala masing-masing. "Yang rajin ya sekolahnya. Semangat!" Dia mengangkat tangannya yang di kepalkan sambil tersenyum.
Mereka pun tertawa sejenak, setelahnya saling melambaikan tangan untuk berpisah untuk sementara waktu. Zee sibuk mendengarkan musik menggunakan music di ponselnya, dia di beri ponsel oleh Gita, itu pun satu ponsel untuk bertiga, tidak hanya untuk dirinya. Sementara Muthe dan Christy sedang di landa kebingungan, rencananya hari ini dia akan memberi tahu semua anggota keluarganya jika Shani memiliki penyakit yang dapat merenggut nyawa nya kapan saja, tetapi dia bingung bagaimana cara memberitahunya, takut semua kakaknya tidak akan percaya.
"Zee." Muthe memanggil, tetapi karena Zee menggunakan earphone ia tak mendengar panggilan Muthe.
"Zee." panggilnya sekali lagi.
"Azizi!" Tiga kali Muthe memanggil tapi tak di dengar, dengan kesal Muthe mencabut earphone Zee dari telinganya. "Aduh The! Kenapa sih?" kesalnya.
"Kita mau ngomong," kata Christy yang langsung di sambut dengan anggukan dan di beri dua jempol oleh Muthe.
Zee berdecak sebal "Aku lagi sibuk dengerin lagu, nanti aja." Zee kembali memasang earphone itu di telinganya, tak peduli dengan Muthe dan Christy yang merasa kesal.
Padahal ini hal yang penting, tetapi Zee mengabaikannya. Muthe dan Christy pun hanya bisa menghembuskan nafasnya pelan, nanti mereka akan mencoba berbicara dengan kakak-kakaknya yang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kotak Harapan dan Kisahnya || END
Fanfiction[ SELESAI ] Ini tentang mereka Tujuh remaja perempuan yang ingin hidup bahagia, si sulung yang berusaha memenuhi segala kebutuhan keluarga, dan si bungsu yang ingin bertemu dengan cinta pertamanya. Apakah kisah mereka akan berakhir bahagia? Atau mal...