2.4 || Curiga

987 113 12
                                    

"Gita! Tungguin dong ah!" Eli yang masih memakai sepatunya berteriak pada Gita yang kini sudah berjalan cukup jauh dari perkarangan rumah. Eli berdecak sebal kala Gita sama sekali tak mendengarkannya sama sekali, setelah urusan dengan sepatunya ini sudah selesai, Eli segera berlari mengejar Gita yang sudah cukup jauh dari dirinya.

Mereka berdua hendak pergi ke Toko Service milik Gita. Awalnya Gita ingin pergi sendiri saja, tetapi Eli heboh ingin ikut bersama Gita. "Aduh, capek banget," Nafas Eli masih belum teratur, kini mereka sedang berjalan menuju toko dengan bersampingan.

"Siapa suruh lari-larian," Gita tampak tak peduli, dia rasa dia tak memerintah Eli untuk berlari seperti ini.

"Ya lo! Ninggalin,"

"Lo ngga buta jalan," Eli menghembuskan nafasnya pelan, dia mengusap dadanya berusaha sabar menghadapi Gita yang setiap hari seperti ini. "Eh, lo liat ngga kemarin-kemarin kak Gre pulang di anterin cowok?" Eli memulai pembicaraan baru dengan si kulkas berjalan di sampingnya itu.

"Ojek?"

"Bukan dong! Ini cowok," Eli menaik turunkan alisnya.

"Ojek juga cowok,"

"Ya gak gitu!" Lihatlah seberapa sabar Eli menghadapi Gita. "Kayaknya pacarnya kak Gre deh, tapi dia masih malu gitu lho Git! Kayaknya belum pacaran, tapi masih masa-masa hts, alias hubungan tanpa status," Eli memegang tangan Gita kala mereka berdua menyebrang jalan. "Nah, terus mereka telponan dong! Gue bakal punya abang Git! Gila-gila..."

"Lebay."

"Ah! Lo gak asik!"

Kini mereka sudah masuk ke dalam Toko Service Gita, Eli mendudukan dirinya di kursi yang berada di dekat kipas angin yang baru saja Gita nyalakan. Gita mulai membersihkan tokonya terlebih dahulu, setelah selesai dia segera duduk di samping Eli lalu menyalakan sebatang rokok yang kini sudah menjadi bagian dari dirinya setelah Shani tak ada.

Sebetulnya Gita sudah sering merokok sebelum Shani meninggal, tapi sang kakak pertamanya itu selalu melarang Gita menyentuh batang nikotin tersebut, tapi sekarang Gita malah kembali menyentuh batang nikotin yang sudah dilarang oleh sang Kakak untuk disentuh.

Eli memainkan ponselnya, sementara Gita sibuk melamun sambil merokok, matanya hanya menatap satu titik, fotonya dengan sang kakak pertama yang di pajang di atas laci meja. "Kenapa lo?" Eli menaruh ponselnya, sebetulnya Eli sedari tadi memperhatikan Gita yang tengah menatap foto di atas laci tersebut. "Mikirin apa?"

"Enggak mikirin apa-apa," Gita menaruh rokoknya di sebuah asbak yang baru saja dia beli dua hari kemarin, dia langsung mematikan rokoknya yang belum habis.

"Lo kayak mikirin sesuatu Git. Cerita, jangan gitu sama gue." Eli mendekatkan dirinya pada Gita.

"Gue cuman bingung, curiga aja rasanya," Eli mengerutkan keningnya, dia mulai fokus pada Gita yang akan segera mulai bercerita. "Lo liat gak sih waktu kita di rumah sakit, pas banget kak Shani meninggal?" Gita menjeda ucapannya, dia sedikit ragu untuk mengatakan hal ini pada Eli.

"Infusnya putus, dan itu kaya putus yang sengaja di potong. Bagian yang putus nya itu kaya seolah-olah di gunting, jadinya runcing." Eli mengerutkan keningnya lagi, sejujurnya dia juga melihat itu, tetapi dia hanya menyangka hal itu memang hal biasa di dunia rumah sakit seperti ini, ternyata tidak. "Itu gak mungkin nggak di sengaja, pasti ada orang lain yang lakuin itu buat bunuh kak Shani. Gue yakin Li,"

"Ah, mungkin itu emang konsepnya kaya gitu Git. Lagi pula siapa yang bunuh coba?"

"Itu yang lagi gue pikirin. Kalau pun ada yang bunuh, siapa yang bunuh. Terus, kenapa dia bunuh Kak Shani?" Ucapan Gita ada benarnya juga, selama ini Eli rasa sang kakak tak pernah memiliki masalah yang besar dengan siapa pun, siap yang tega membunuh kakak kesayangan mereka semua?

Kotak Harapan dan Kisahnya || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang