"Semua orang bisa mengobati lukamu, tapi tidak semua orang bisa berjanji untuk tidak menimbulkan luka baru."
▪︎▪︎▪︎▪︎
"Ini sudah yang ketiga kalinya, bahkan lebih Zora memukul siswa di sini hingga pingsan. Saya selaku kepala sekolah akan menghukum Zora karena tindakannya ini. Zora saya skors selama tiga hari," ucap Pak Attar- kepala sekolah SMA Arizon.
Shasa mengangguk kecil. "Jika itu keputusan yang Bapak buat, maka saya selaku wali dari Zora akan menerimanya."
Shasa memang masih di sekolahan karena ada urusan yang harus diselesaikan. Saat ia akan pulang, tiba-tiba saja dirinya di panggil kepala sekolah.
Ia sudah tidak kaget lagi dengan apa yang Zora perbuat, karena ini sudah kesekian kalinya Zora berantem. Namun, yang membuatnya sedikit khawatir adalah tangan Zora yang terluka, bahkan gadis itu belum mengobati lukanya, ia lebih memilih ke ruang kepala sekolah terlebih dahulu daripada mengobati luka di telapak tangannya.
"Kalo gitu, kami permisi keluar, Pak," ujar Shasa yang diangguki Pak Attar.
Keduanya keluar dari ruangan itu. Di depan sana sudah ada Asya, Arora dan Vera yang menunggu. Mereka sangat khawatir dengan Zora, jadi mereka memutuskan untuk menunggu di depan ruang kepala sekolah.
"Gimana, Kak?" tanya Asya.
"Skors tiga hari," balasnya. Shasa menatap adiknya yang hanya diam, "ayo ke rumah sakit. Obati tanganmu- "
"Nggak usah sok peduli!" Zora menggandeng tangan Asya untuk pergi dari sana.
"Zor kita gimana?" tanya Vera yang hanya diabaikan oleh Zora.
Namun keduanya kini beralih menatap Shasa lalu tersenyum lebar. "Kak Shasa yang cantik- "
"Nggak! Gue sibuk," ujarnya yang tahu isi otak Arora dan Vera.
"Kak, rumah kita searah kok," kata Vera yang merayu Shasa.
Gadis itu berdecak sebal lalu berjalan meninggalkan Arora dan Vera. "Cepetan!"
Mendengar itu Arora dan Vera tersenyum puas. "Yes!"
◇◇◇
Sebuah tangan mengelus lembut seseorang yang tengah memejamkan matanya. Ingin rasanya ia menangis mengingat kejadian kemarin, hatinya terasa sakit melihat seseorang yang ia cintai terbaring lemah di kasur rumah sakit.
"Maafin Zora, Bun."
Setelah mengobati tangannya, Zora bergegas ke ruangan Clara. Sebenarnya ia tidak mempunyai cukup nyali untuk menemui Clara karena perbuatannya, namun ia ingin melihat wajah wanita ini.
"Zora nggak becus jadi anak Bunda. Seharusnya dulu Bunda nggak usah lahirin Zora. Maafin Zora ya, Bun," ucapnya lirih lalu mencium kening Clara singkat.
Zora beranjak dari posisi duduknya dan bergegas keluar dari sini sebelum Shasa datang. Entahlah, untuk bertemu Shasa rasanya malas sekali.
"Gimana keadaan Bunda, Zor?" tanya Asya yang duduk di depan ruangan.
"Belum ada perubahan." Tangan Zora yang dibalut perban mengusap lembut pipi Asya, "sakit banget ya? Tahu gitu tadi gue bunuh- "
"Udah enggak, jangan bunuh orang ya," potong Asya cepat, ia tahu perkataan Zora tidak main-main.
"Ganti dulu bajunya, nggak risih lu banyak darah gitu?" celetuk Shasa sembari memberikan sesetel baju pada Zora.
KAMU SEDANG MEMBACA
An Agreement
Teen Fiction"Bahkan seseorang yang tidak pernah kita duga, bisa menjadi ular paling mematikan." -Izora Annarov •••••• Sebuah janji yang sudah tertulis di atas lembaran kertas, maka haram bagi penulisnya untuk mengingkari janji itu. "Semua orang bisa mengobati l...