8. Pasutri

51 4 0
                                    

"Sejak malam itu, dia jadi milikku."

—Gaffi Raffaeyza.

••••••

"Ra... " parau Gaffi.

"Astagfirullah, Kak Gaffi!"

Zora bergegas menghampiri Gaffi yang jauh dari kata baik. Wajah, tangan dan kaki lelaki itu terluka, bahkan darah segar keluar dari luka yang berada di pelipis lelaki itu.

Tanpa memperdulikan tubuh Gaffi yang basah, Zora menuntunnya menuju ke sofa kamar yang ukurannya cukup besar, lalu mendudukkan Gaffi yang berstatus suaminya itu di sofa.

Ya, Zora dan Gaffi diam-diam sudah menikah. Saat merayakan ulang tahun Shasa malam itu Zora melangsungkan pernikahan di masjid yang waktu itu Gaffi mengimami sholat.

Jika ditanya, kapan mereka pacaran? Maka jawabannya mereka tidak pernah pacaran. Pernikahan ini berlangsung atas permintaan Ernando ayah Zora. Awalnya Zora menolak, karena Zora tak mengenal siapa lelaki yang akan menikahh dengannya. Ditambah lagi pernikahan menurut Zora adalah hal yang sakral dan di lakukan satu kali seumur hidup.

Namun setelah penjelasan dari Ernando dan mengatakan bahwa Gaffi adalah seorang yang tepat untuknya, baik dari sisi agama atau bukan maka Zora menuruti permintaan Ernando.

Karena ia yakin, pilihan Ernando tidak pernah salah.

Untuk alasan pastinya Zora juga tidak tahu. Ernando hanya berpesan bahwa ia harus segera menikah dengan Gaffi. Perihal Clara, sebelum koma wanita itu sudah menyetujui pernikahannya dengan Gaffi, itu yang dikatakann Ernando padanya.

Pernikahannya sangat tertutup, yang mengetahui dirinya sudah menikahh hanya orang tuanya, orang tua Gaffi, Asya, Shasa dan terakhir Kenan— sahabat Gaffi.

"Ke rumah sakit aja ya, gue antar," ujar Zora namun jawab gelengan oleh Gaffi.

Zora mengigit bibir bawahnya. Jujur ini adalah pertama kalinya dirinya sedekat ini dengan Gaffi, setelah menikah ia dan Gaffi memutuskan untuk pisah kamar. Bahkan ini pertama kalinya Gaffi melihat ia tidak memakai jilbab.

Zora tahu dirinya salah, namun ia masih belum bisa untuk terbiasa akan adanya lelaki ini. Lagipula Gaffi juga tidak memaksanya untuk satu kamar atau melepas jilbabnya. Laki-laki itu hanya berpesan supaya setelah menikah ia dan Gaffi tinggal satu rumah. Hanya itu.

Gadis itu menghembuskan napasnya pelan. "Gue bantu lepas jaketnya," ujar Zora.

Tangannya perlahan mulai melepaskan jaket yang Gaffi kenakan, tak sengaja baju Gaffi terangkat sedikit membuat mata Zora melihat sebuah luka yang berukuran cukup besar di perut Gaffi.

"Ini juga luka?" tanya Zora spontan yang mengangkat baju Gaffi.

Gaffi menatap dalam mata Zora yang berada di bawahnya. Ia mengangguk kecil sebagai jawabannya. Bukannya lemah, namun tadi ia terjatuh lumayan keras karena dirinya yang mengendarai motor dengan kecepatan tinggi jadi rasanya sangat sakit.

"Bajunya basah, dibuka aja gimana? Takut kena luka ini," ujar Zora tanpa sadar yang masih menatap luka di perut Gaffi.

Merasa perkataannya tidak benar membuat Zora menggigit bibirnya kembali, ia mendongak menatap Gaffi yang juga sedang menatapnya.

"Em, maksutnya ini em, kalo kena luka— "

"Tolong bantu," ujar Gaffi lirih.

Zora menelan ludahnya kasar lalu mengangguk. Ia berdiri dari posisi duduknya dan membantu Gaffi untuk melepaskann kaos yang di pakai laki-laki itu. Tak sampai di sana, jantung Zora kembali berdebar saat melihat perut sixpack milik Gaffi.

An AgreementTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang