"Bermainlah dengan cerdas dan juga rapi..."
—Ernando
•••••
"Masih pagi banget, kenapa udah bangun? Masakannya belum mateng," ujar Zora yang mendengar langkah kaki seorang menuruni tangga.
Tadi selepas sholat subuh Gaffi hanya memejamkan matanya, namun tidak benar-benar tertidur. Jadi ia memutuskan untuk turun ke bawah melihat istrinya yang tengah memasak makanan untuknya dan juga untuk gadis itu.
Tanpa memperdulikan ucapan Zora, lelaki itu berjalan menghampiri istrinya. "Aku bantu."
Mendengar itu membuat seorang gadis yang menggunakan seragam sekolah menoleh dan menatap Gaffi. Luka di tubuh lelaki itu masih ada, namun ada beberapa yang sudah mengering.
"Tolong ambilin ayam di kulkas, terus bantu cuciin," kata Zora dan dituruti Gaffi.
Lelaki itu mengambil ayam yang ada di kulkas lalu mencucinya tanpa ada kesulitan. Jika harus memasak pun masih bisa Gaffi kerjakan, karena Aera pernah mengajarinya memasak dan juga selama di pondok dulu dirinya juga sempat memasak makanan untuk anak-anak pondok.
"Ra, nanti sekolahnya aku yang antar ya?" celetuk Gaffi membuat Zora menoleh.
Hadis itu menatap lelaki di sampingnya yang tengah sibuk mencuci ayam. Bahkan lelaki yang berbicara padanya ini tidak menatapnya sama sekali.
"Tangannya udah sembuh emang?" tanya Zora.
"Pakai mobil aja. Sekalian mau nemuin Ayah," balas Gaffi.
"Iya," balas Zora yang melanjutkan aktivitas memasaknya.
Mendengar peesetujuan dari Zora membuat Gaffi mengangkat sedikit sudut bibirnya. Ia menoleh ke arah gadis di sampingnya yang tidak memakai kerudung dan berstatus sebagai istrinya. Semenjak insiden dirinya jatuh dari motor membuat dirinya bisa tidur satu kamar dengan Zora.
Merasakan Gaffi memperhatikannya membuat Zora menoleh sekilas dan fokus kembali ke masakannya.
"Ngapain lihatin gue gitu?" tanya Zora.
Tak ada jawaban darinya, lelaki itu masih berusaha menyelesaikan mencuci ayamnya. Setelah selesai ia menaruh mangkuk yang berisi ayam di samping Zora dan diakhiri dengan lelaki itu yang mencuci tangan hingga bersih.
Ia berjalan mendekat ke arah Zora dan berhenti tepat di sampingnya. Gaffi sedikit menundukkan kepalanya untuk mensejajarkan tingginya dengan tinggi Zora.
Tangan Gaffi bergerak menyelipkan rambut panjang Zora ke belakang telinga gadis itu, lalu berbisik di telinganya. "Cantik. Mubadzir banget kalo nggak aku lihat."
°°°°
Jam kedua ini adalah pelajaran sejarah, pelajaran yang tidak Zora suka. Selain banyak hafalan, sejarah juga sangat membosankan. Zora mengalihkan pandangannya ke arah luar jendela, ia mengerutkan keningnya ketika melihat seseorang berdiri di tengah lapangan menggunakan hoodie hitam sembari membelakanginya.
Zora tidak bodoh, saat jam kedua pasti orang itu selalu berdiri di tengah lapangan. Pada posisi yang sama, dan juga menggunakan pakaian yang sama. Sudah empat kali Zora melihatnya, dirinya yakin bahwa ini bukan suatu kebetulan.
"Zor, lihatin apa?" tanya Asya yang membuyarkan lamunan Zora.
Gadis itu menoleh ke arah sahabatnya. "Sya, besok kita pindah tempat duduk."
KAMU SEDANG MEMBACA
An Agreement
Teen Fiction"Bahkan seseorang yang tidak pernah kita duga, bisa menjadi ular paling mematikan." -Izora Annarov •••••• Sebuah janji yang sudah tertulis di atas lembaran kertas, maka haram bagi penulisnya untuk mengingkari janji itu. "Semua orang bisa mengobati l...