"Permainan takdir yang unik. Sebuah pernikahan tanpa pertemuan, bisa membuat kedua orang yang tak saling mengenal menjadi dua orang yang takut akan kehilangan."
••••••
Dengan perlahan Gaffi membuka handle pintu ruang rawat Zora. Tatapannya tertuju pada gadis yang tengah memejamkan matanya, namun tak lama mata Gaffi beralih menatap wanita yang tidur di sofa yang ukurannya besar.
Ia berjalan ke lemari kecil lalu mengambil selimut yang ada di sana, lalu kembali berjalan mendekati Aera yang tengah tertidur. Tangan Gaffi perlahan mulai menyelimuti Aera dengan selimut yang dirinya ambil, setelah memastikan tubuh Aera tertutup selimut semua Gaffi berjalan mendekati Zora yang masih tertidur.
Cukup lama Gaffi menatap wajah Zora yang penuh luka itu, hingga tatapannya jatuh pada bibir Zora yang sedikit robek. Tangan Gaffi dengan perlahan mendekat ke arah bibir Zora, namun belum sempat menyentuh bibir istrinya ia menghentikan aksinya.
Gaffi menghela napas pelan, ia menjauhkan kembali tangannya lalu membalikkan tubuhnya berniat untuk tidur di luar. Namun, siapa sangka sebuah tangan mencengkal pergelangan tangan Gaffi hingga membuat lelaki itu menoleh kembali ke arah Zora.
"Ke mana aja?" tanya Zora lemah.
"Kenapa belum tidur?" Bukannya menjawab pertanyaan Zora, Gaffi justru bertanya balik.
"Kebangun denger suara pintu kebuka," balasnya jujur.
Tangan Gaffi mengelus pipi Zora pelan. "Lukanya masih kerasa sakit?"
Gadis itu mengangguk kecil. "Masih."
Mendengar itu membuat hati Gaffi terasa sakit. Bahkan di pernikahannya yang baru beberapa bulan ini, dirinya tak becus untuk menjaga istrinya.
"Tidur lagi aja, udah malem juga," ujar Gaffi lembut.
"Lu mau ke mana?" tanya Zora yang merasa Gaffi akan pergi lagi.
"Aku tidur di luar," ujarnya yang menjauhkan tangannya dari pipi Zora.
Gadis itu berdehem kecil, memejamkan matanya untuk beberapa saat. "Tidur di sini aja."
Gaffi tertegun dengan ucapan Zora, ia tidak salah dengar? Memang bangkar tempat Zora berbaring ini ukurannya besar, jadi jika untuk dua orang tidak masalah, tapi tetap saja ia tidak percaya Zora mengatakan itu padanya.
"Di luar dingin,"ujar Zora kembali.
Gaffi mengangguk mengiyakan perkataan Zora. Ia melepaskan jaket hitamnya, dan juga kaosnya, membuat lelaki itu bertelanjang dada. Entahlah, ia belum bisa meninggalkan kebiasaan buruknya yang jika tidur pasti tidak menggunakan baju.
Di lain sisi Zora mengalihkan pandangannya ke arah lain. Dengan sisa tenaganya ia menggeser tubuhnya sedikit supaya memberi tempat untuk Gaffi.
Lelaki itu mematikan lampu. Setelah itu ia berjalan ke arah bangkar lalu naik dan merebahkan tubuhnya di samping Zora, tangan kirinya mengangkat kepala Zora dengan hati-hati lalu menyelipkan tangan kanannya di bawah kepala Zora supaya menjadi bantalan.
Zora menahan napas, jantungnya berdetak tak karuan kencang melihat wajah Gaffi berada di atasnya, ditambah lagi tubuh lelaki itu yang polos tidak memakai baju.
"Napas, Ra," ujar Gaffi yang menatap mata Zora. Ia tersenyum melihat wajah Zora yang berada di bawahnya dengan jarak yang cukup dekat.
Gadis itu mengalihkan pandangannya ke arah lain sembari membuang napasnya panjang. Sungguh, dirinya ingin menarik ucapannya tadi yang menawarkan Gaffi tidur di sampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
An Agreement
Teen Fiction"Bahkan seseorang yang tidak pernah kita duga, bisa menjadi ular paling mematikan." -Izora Annarov •••••• Sebuah janji yang sudah tertulis di atas lembaran kertas, maka haram bagi penulisnya untuk mengingkari janji itu. "Semua orang bisa mengobati l...