14. Let's start this game

25 4 0
                                    

"Sebuah permainan saya mulai." —Gaffi

•••••••

"Kenapa bisa kelolosan gini? Saya udah pernah katakan bukan jika keselamatan Zora itu nomor satu," ujar Ernando pada salah satu anak buahnya.

Seorang itu menundukkan kepalanya. "Maaf, ini murni keteledoran saya. Saya menerima jika Anda menghukum saya."

"Memang begitu seharusnya bukan?" Ernando menatap tajam kedua mata orang di depannya, namun tak berselang lama ia menghembuskan napasnya kasar.

"Tapi saya tidak tahu harus bilang apa pada Zora jika dia tahu kalo saya melukai orang yang selalu menemaninya di saat saya tidak bersamanya. Jadi tolong jangan pernah ulangi kesalahanmu," ujar Ernando membuat seseorang di depannya tersenyum senang.

Seorang itu mengangguk cepat. "Terima kasih."

Ernando mendudukkan dirinya di bangku lalu menyilangkan kedua tangannya. "Apa kamu tahu siapa orang yang menembak jendela kelas Zora dengan pistol?"

Orang itu mengeluarkan sebuah foto yang membuat Ernando sedikit mengangkat sudut bibirnya. "Seperti yang Anda duga. Salah satu tangan kanan Serpent."

Foto itu adalah foto seseorang yang pernah Ernando beri tahu pada Gaffi waktu itu. Tangan kanan serpent yang sudah dirinya ketahui. Namun dirinya tak boleh gegabah, orang ini sangat licik, tidak bisa disingkirkan dengan mudah.

"Terus pantau dia. Tapi bermainlah dengan rapi."

°°°°°°

"Sakit enggak, Zor?" tanya Asya yang iba melihat tubuh Zora dipenuhi luka lebam.

"Astagfirullah masih tanya lagi, pasti sakit lah Sya," balas Vera geram.

"Ver, tumben lu istigfar? Mau login sekarang?" ujar Arora

Vera memutar bola matanya malas. Pasti jika dirinya beristigfar atau mengucap hamdalah pasti Arora atau Asya akan menawarinya untuk login. Padahal ia hanya reflek mengatakan itu, karena dirinya berteman dengan ketiga temannya yang beragama islam jadi terkadang Vera memgucapkan kalimat istigfar atau hamdalah.

"Jadi gimana ceritanya lu bisa kaya gini, Zora? Sampai luka yaang ada di pinggang lu dijahit," tanya Vera.

"Jatuh dari motor," balas Zora singkat.

"Makannya Zora kalo naik motor itu hati-hati, jangan ngebut, dibilangin ngeyel sih," celoteh Asya.

Arora yang mendengar itu hanya menggelengkan kepalanya pelan. "Terus yang bawa lu ke rumah sakit siapa?"

Zora terdiam. Ia kembali mengingat perkataan Gaffi malam itu. Dirinya memang tidak melihat sepenuhnya wajah Gaffi saat itu tapi suara Gaffi berubah saat bicara dan Zora yakini lelaki itu tengah menahan amarahnya.

"Zor?" Vera memanggil Zora karena sahabatnya hanya diam.

"Gue nggak inget," balas Zora berbohong. Ia masih belum bisa menceritakan bahwa dirinya sudah menikah.

"Gue udah beli makanan itu di makan dulu," ujar Shasa yang baru saja datang membawa beberapa makanan.

"Seharusnya nggak usahh repot-repot Kak. Em- enggak sekalian buat di bawa pulangnya, Kak?" tanya Arora yang membuat Vera menonyor kepalanya.

An AgreementTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang