Bab 1: Awal Bertemu

61 15 1
                                    

"Pertemuan pertama memberikan dua jenis kelanjutan berbeda. Antara pertemuan selanjutnya atau ini terakhir kalinya. Dan aku berharap, kita bisa melakukan opsi yang pertama." The Violinist

_____

GADIS itu menatap malas orang-orang yang berlalu lalang seiring dengan langkahnya di koridor rumah sakit itu. Ia menghela nafas, merasa bosan karena weekend nya selalu saja seperti ini. Dihabiskan di tempat bernama rumah sakit yang sering ia jadikan tempat menginap hingga berbulan-bulan. Tempat menginap terburuk menurutnya.

Para perawat dan dokter yang berlalu lalang hingga pasien dengan pakaian pasaran dengan kondisi bermacam-macam, seolah menjadi tontonan sehari-hari untuknya. Dan berjalan-jalan menuju taman rumah sakit secara diam-diam sudah jadi aktivitas yang sering ia lakukan bila berada di sini.

Tatapan Artala kini tertuju pada bangku taman yang kosong tanpa ada yang mendudukinya, ditunggu beberapa detik, tetap saja tak ada yang mendudukinya. Ujung bibirnya pun tertarik, membuat sebuah lengkungan manis.

"Duduk di sana aja gak sih?" monolognya lalu melangkahkan kaki menuju bangku, sedikit cepat lantaran takut di duduki orang lain.

Artala memilih mendudukan diri di atas bangku itu. Bersandar pada kepala bangku sambil menatap sekitarnya dengan pandangan sayu karena bosan. Di sini ramai, tapi sama sekali tak ada yang menarik. Tak ada hiburan sama sekali. Ya wajar saja, ini rumah sakit yang sebagian besar isinya orang sakit, bukan sirkus yang isinya tentu saja orang-orang penghibur.

Artala memperhatikan orang-orang di sekitarnya dengan tatapan sendunya, lalu berdecak sebal saat melihat emosi yang tergambar jelas di wajah mereka.

Orang-orang yang memakai piyama sama dengannya itu, terlihat tertawa riang bahagia. Membuatnya memutar bola matanya malas.

Mereka merasa bahagia, melupakan rasa sakit sejenak dan kembali menikmati dunia. Namun, Artala tidak pernah bisa merasa seperti itu. Kebahagiaan, malah membuat dirinya takut akan kematian. Dan jika Artala merasa takut kematian, ia tak bisa menerima kenyataan tentang diagnosis dokternya beberapa minggu yang lalu.

"Huft.., gapapa Artala, tinggal beberapa tahun atau bulan lagi," gumamnya pelan, bermaksud menghibur diri.

Ya, menghibur baginya adalah mengingatkan bahwa ajalnya akan menjemput tak lama lagi. Ia akan keluar dari semua kesakitan yang menggerogoti tubuhnya ini, keluar dari siksaan penyakit yang sudah menemaninya selama 11 tahun ini.

Seorang Artala Trisya ini, menderita kanker paru-paru. Penyakit yang membuatnya menderita sejak diagnosis pertamanya saat berusia 6 tahun hingga saat ini.

Ia menantikan kematiannya, karena ia sudah terlalu lelah. Lelah saat merasakan rasa sesak dan kesakitan seolah ada jarum yang menusuk-nusuk dadanya, lelah saat ia terus dibawa bolak-balik dari rumah ke rumah sakit saat nafasnya kembali direbut paksa.

Artala ingin mati, lalu di kehidupan selanjutnya yang ia inginkan hanyalah tubuh yang sehat, yang membuatnya bisa beraktivitas layaknya orang normal pada umumnya. Bukan hanya terbaring lemas dengan berbagai alat penunjang kehidupan yang tersalur ke tubuhnya.

Ia juga lelah terus menerus percaya bahwa bisa sembuh seperti sediakala, padahal di hidupnya ini, tak ada yang namanya kesembuhan.., yang ada hanyalah penundaan.

Never LeaveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang