Bab 8: Bunga Kematian

22 7 0
                                    

“Bahagia itu bukan hanya tentang hal yang kita suka, bisa juga tentang hal sederhana yang tak pernah dirasa.”

____

SUASANA di meja makan pagi ini cukup berbeda. Di sini hanya terdengar suara dentingan garpu dan sendok yang menjadi suara yang mendominasi di tengah keheningan yang melanda. Sama seperti hari-hari sebelumnya, tapi ini tetap terasa berbeda.

Meskipun tak ada yang membuka suara, bibir itu tetap berkedut menahan senyuman. Setelah beberapa hari kembali kesini, akhirnya ia bisa merasakan kebersamaan keluarganya lagi. Meski hanya hal kecil, sarapan bersama walau kecanggungan sangat ketara. Wajar saja, bulan ini dapat dihitung jari mereka bertiga berkumpul kembali.

"Gimana sekolah kamu?" Girdan akhirnya membuka suara, membuat gadis yang merasa ditanyainya menoleh.

"Yaa gitu deh, biasa-biasa aja," jawab Artala setelah menelan sepotong pancake nya.

"Kamu masih pacaran sama Nava?"

Mendengar sang papa menyebut-nyebut sama kekasihnya, membuat Artala menghentikan gerakan pisau di tangan kanannya. Menatap sang papa dengan tatapan berbeda dari sebelumnya.

"Kenapa emangnya?" Raut wajah yang Artala datar, membuat Arsella menghela nafas saat melihatnya.

"Stop dulu ngobrolnya, makan dulu."

Artala memutar bola matanya, dengan tangan yang bergerak mengambil segelas susu yang tadi dibuatkan papanya, ia meminumnya sedikit.

Artala ini jadi sedikit malas jika papanya membawa-bawa nama Nava.., karena jika dilanjutkan, pasti akan seperti sebelum-sebelumnya. Papanya akan mengatakan hal yang menurut Artala menyebalkan. Tentang mereka yang berbeda, kepercayaan akan Tuhan yang sama sekali tak sama.

"Jadwal check up lagi kapan Ta?" Girdan kembali membuka suara, sama seperti putrinya, ia juga sangat tak suka dengan kecanggungan.

"Nanti, tanggal 30 Januari, dua minggu lagi berarti," jawab Artala lalu menatap papa nya itu.

"Kenapa? Papa mau temenin aku?" tanya Artala dengan raut wajah tanpa ekspresi, ia sudah menduga jawabannya akan seperti apa.., tentu saja menjurus pada pekerjaan.

"Iya, papa bakal sempetin waktu buat temenin kamu."

Hal yang sama sekali tidak Artala duga, mampu membuat bibirnya berkedut dengan mata berbinar. Alat makan di tangannya terlepas, ia menatap sang papa dengan raut yang jarang diperlihatkannya.

"Beneran?" tanyanya dengan semangat, membuat Girdan menarik ujung bibirnya, menampilkan senyuman tipis yang mirip dengan senyum milik Artala.

"Iya, mama juga bakal temenin kamu kok," sahut Arsella dengan Artala yang menoleh menatapnya.

"Janji ya? Nanti, tanggal 30 januari kalau kalian berdua ada urusan pekerjaan, batalin! Arta gak mau tau," ucap Arta lalu bersedekap dada membuat Arsella menghela nafas lalu mengusap lembut rambutnya.

"Iyaa."

"Promise?"

Artala saat ini seolah melupakan masa-masanya saat sendiri, dimana kedua orangtuanya hanya sibuk bekerja dan meninggalkannya seorang diri di rumah.

Never LeaveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang