Bab 3: Impian Dua Manusia

35 8 0
                                    

"Tidak ada yang namanya memimpikan kematian, yang ada hanyalah mimpi agar terbebas dari kesakitan."

__

LANGIT malam ini terlihat lebih gelap tanpa sang rembulan dengan bintangnya. Itupun karena awan kelabu yang menutup keindahan dengan menurunkan rintikan air yang mulai membasahi daratan.

Angin malam menyapu, membuat ringisan itu terdengar. Hingga akhirnya, hujan mulai mereda, dan guntur tak lagi terdengar bersahutan.

Kunci itu dicabut setelah diputar dua kali, lalu dimasukkan kedalam saku jaketnya.  Setelahnya Agtama berjalan, menghampiri seorang gadis yang sedari tadi menatapnya dalam diam.

"Gue pake motor, gapapa?" Agtama bertanya dengan sedikit merasa tak enak, tetapi Artala menjawabnya dengan anggukan ragu.

"Gapapa kok," jawab Artala dengan senyum tipisnya, lalu tangannya bergerak, kembali mengusap lengannya. Angin malam sungguh menusuk, apalagi suhu semakin turun karena hujan. Sungguh dingin.

Agtama melangkah perlahan menuju motor maticnya lalu membuka joknya, mengambil sebuah mantel plastik berwarna biru, lalu memberikannya pada Artala yang kini terlihat bingung.

"Masih gerimis, pake mantel nih."

"Lo?"

Agtama menggeleng lalu menaikan tudung jaketnya. "Gue gak papa."

Artala bergerak memakai mantel plastik itu, lalu tersenyum kecil, "baru pertama kali gue pake ginian, lucu ya."

Melihat cengiran itu membuat Agtama tersenyum tipis, "maaf kalo lo gak nyaman."

"Enggak, gapapa kok."

Agtama mengangguk pelan, lalu ia bergerak untuk menaiki motor merahnya itu, mengambil helm dan lagi-lagi ia menyodorkannya pada Artala.

"Cuma ada satu?" tanya Artala, menatap helm yang ada di tangan Agtama.

"Iya, lo yang pake aja."

Artala mendorong helm itu, "gapapa, lo aja yang pake."

"Tapi-"

"Beneran gapapa, asal gak ketemu polisi. Dan lagian, lo gak bakal bikin gue jatuh dari motor kan?" Artala lalu menaik turunkan alisnya membuat Agtama terkekeh kecil lalu mengangguk.

"Gak akan, gue gak akan pernah biarin lo jatuh kok."

"Bagus."

Setelah itu, Artala bergerak naik lalu duduk di jok belakang motor matic itu. Dengan Agtama yang melajukan motornya setelah memakai helm, menuju alamat yang sudah Artala sebutkan sebelumnya.

Sepanjang perjalanan, Artala hanya diam dan melihat sekitarnya. Meskipun sudah larut malam dan hujan, nyatanya kota tetap saja ramai dengan muda-mudi yang berlalu lalang.

Sebenarnya, ia baru pertamakali menaiki motor seperti ini. Pertama kali juga berkendara di bawah gerimis. Tapi.., kesan untuk hal yang baru yang pertamakali ia lakukan ini cukup bagus. Meski kedinginan, ia jadi bisa merasakan bagaimana berada di luar rumah pada malam hari.

Artala ini, jarang sekali keluar rumah. Selain karena penyakitnya, ia jarang kelaur juga karena sifat tertutupnya yang membuatnya jadi anak rumahan. Jangankan keluar dan main kemana-mana, bergaul dengan tetangga saja ia tidak mau. Malas katanya.

Suasana terasa canggung, dan Artala tak suka dengan itu. Gadis itu terlihat terdiam, mencari topik untuk dijadikan obrolan, meski sebenarnya ia tau, berbahaya mengajak ngobrol orang yang seharusnya fokus berkendara. Tapi ini sungguh tidak nyaman, Artala pun memberanikan diri mengajukan pertanyaan.

Never LeaveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang