Bab 4: Masa Putih Abu-Abu

27 8 0
                                    

“Jangan merasa tak punya apa-apa. Tubuh sehat kita ini, diinginkan oleh mereka yang berjuang untuk mendapatkannya.”

____

MENTARI pagi terlihat naik dan mulai memancarkan sinarnya. Jalanan beraspal itupun terlihat basah dan becek karena hujan deras yang turun semalaman.

Di dalam mobil merah yang melaju di atas jalanan yang tak terlalu padat itu, seorang gadis duduk di kursi samping kemudi, menatap kosong jalanan dengan jendela yang sedikit diturunkan.

Artala menghela nafas saat mobil berhenti melaju, lalu ia membenarkan letak ransel di punggungnya, merapikan dasi abu-abu lalu menatap sang mama.

Tanpa mengatakan apapun untuk berpamitan, Artala membuka sabuk pengamannya lalu membuka pintu, sebelum ucapan mamanya menghentikan pergerakannya.

"Pulangnya ikut sama Ciara aja, atau minta jemput ke pak Sito."

"Bukannya papa bakal jemput aku?" tanya Artala dengan dahi mengerut.

"Papa sibuk."

"Mama bisa 'kan?" tanya Artala dengan mata penuh harap.

Melihat Arsella yang menatapnya dengan tatapan jengah membuat Artala memutar bola matanya malas. Ia sudah menduganya.

"Terserah, gak peduli." Gadis itu keluar lalu menutup pintu mobil dengan sedikit keras, sebelum akhirnya berlari kecil menuju gerbang besar yang banyak dimasuki para manusia berseragam putih abu itu.

Artala melangkah di koridor dengan wajah murung. Ia kesal karena lagi-lagi mereka selalu menyibukkan diri bahkan tak bisa menyempatkan untuk putri mereka sendiri.

"Hey!"

Artala hampir terhuyung ke depan saat sebuah lengan melingkari bahunya dari belakang, lalu ia menoleh, menatap Nava yang nyengir dengan permen lolipop di mulutnya.

"Dih, pagi-pagi udah makan permen," cibir Artala sambil melangkah dengan Nava di sampingnya.

"Jangan salahin aku, salahin Ciara yang ngasih ini ke aku."

Mendengar itu membuat ekspresi Artala kembali memuram, karena mengingat kejadian semalam. Tangannya bergerak menepis lengan Nava di bahunya membuat laki-laki itu menghentikan langkah.

Nava menatap kekasihnya yang melangkah pergi dengan terburu-buru itu, lalu ia dengan langkah lebarnya kembali mendekati Artala.

"Ta? Kenapa?" Nava bertanya, dengan suara lembut yang selalu menjadi candu untuk Artala.

Artala menyukai Nava, karena pertemuan tak sengaja saat lupa membawa tanaman pada mos hari pertama, dan Nava yang kelebihan tanaman dengan senang hati memberikannya pada Artala.

Artala juga tak hanya menyukai Nava, tapi ia juga selalu mengangguminya, mencintainya.., dan sekarang berusaha membencinya meski itu tak pernah bisa dilakukannya. Sulit katanya.

Artala ingin berhenti bersikap seolah buta, tuli, dan bisu seperti yang dikatakan teman-temannya. Ia ingin mengatakan dengan lantang atas kedekatan Nava dengan sepupunya.., meski rasa takut akan kehilangan Nava ini menggagalkan semuanya.

Never LeaveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang