Bab 14: Stupid One

21 7 0
                                    

"Hal sederhana yang tak semua anak bisa dapatkan, yaitu menjadi prioritas orangtua mereka."

____

"Papa sesibuk itu ya?"

Suasana yang tadinya sepi dan sunyi jadi sedikit canggung setelah Artala membuka suara. Lalu terdengar helaan nafas perempuan yang duduk di kursi yang letaknya di samping brankar.

"Pak Girdan pasti akan kesini juga kok, hanya saja saat ini jadwalnya tengah padat," ucap Agatha sambil menatap Artala yang kini menatap kosong ke arah depan.

Artala tersenyum miris, menyedihkan sekali ya, dirinya. Kedua orang yang tadi membawanya ke tempat memuakkan ini, langsung pergi begitu saja. Ditambah lagi 2 orang manusia yang katanya sibuk itu bahkan tidak menyempatkan waktu untuk mengurusi anaknya yang kembali dilarikan ke rumah sakit.

Dirinya memang tidak sepenting itu kah? Bahkan jika Artala dilarikan ke rumah sakit karena mati pun, mereka tetap tak menyempatkan waktu untuk menemuinya kan?.., itu bukanlah suatu yang mustahil terjadi.

"Tante..."

Suara lirih Artala membuat Agatha bangun, sekertaris papa nya yang lebih perhatian dari sang mama itu menatapnya khawatir.

"Kenapa? Ada sakit?"

Artala menggeleng pelan, membenarkan letak selang oksiden di hidungnya dengan mata berkaca-kaca.

"Artala capek.." bisiknya membuat Agatha menghela nafas lalu menggenggam tangannya yang bebas dari infus.

"Artala gak sepenting itu kah?"

"Jangan berpikiran seperti itu, nona.."

Artala tersenyum tipis lalu merentangkan sebelah tangannya, "tante, boleh peluk gak?"

Agatha ini juga merupakan sahabat dekat dari ayahnya, yang selalu menjadi wali nya apabila orangtuanya tak dapat menyempatkan diri menunggunya ketika masuk rumah sakit.

Girdan dan Arsella itu, gila kerja. Saking gila nya sampai tidak bisa memprioritaskan anak mereka yang menderita penyakit parah yang sampai mengancam nyawanya.

Menjadi anak tunggal pun, membuat Artala semakin merasa betapa menyedihkannya hidupnya. Di rumah, dia kesepian, tidak memiliki tempat bercerita dan hanya bisa mengeluh pada dirinya sendiri. Bercerita di tengah sepinya rumah dengan kesedihannya.

Artala yang menyedihkan ini, memiliki banyak keinginan. Selain kesembuhan yang mustahil, yang ia inginkan lainnya adalah bertemu orang yang setia dengannya, selalu menemaninya apapun yang terjadi, dan bisa menjadi pendengar yang baik.

Jujur.., Artala belum pernah bertemu orang itu.

Orang yang setia.., sudah jelas sisi Artala yang tak berusaha menyangkal, tidak menempatkan kekasihnya di dalam jenis yang satu itu.

Mau dilihat dari berbagai sisi pun, terlihat sekali kedekatan Nava dan sepupunya bukan hanya teman atau patner biasa. Mereka.., terlalu dekat. Namun, selama ini Artala terus menerus menyangkalnya seperti orang bodoh. Menyangkalnya meski berbagai bukti telah beberapa temannya kirimkan, rumor-rumor muncul di sekolahnya, bahkan.., ia melihat perselingkuhan itu dengan mata kepalanya sendiri.

Betapa bodohnya, karena Artala terus menerus membohongi dirinya sendiri, meyakinkan dirinya sendiri dengan sesuatu yang tak pasti. Ia yakin Nava tidak akan pernah berpaling darinya, dan Ciara tidak akan mengambil apa yang sudah menjadi miliknya..

Never LeaveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang