Bab 2: Menemani

38 8 0
                                    

"Menunggu itu melelahkan, apalagi saat tak ada kepastian apakah yang ditunggu akan tiba atau tidak."

____

SUARA dering telepon terdengar menggema di ruangan berukuran sedang dengan cat tembok kusam itu. Bisingnya lagu yang terputar, membuat kelopak mata itu terbuka perlahan, tetapi tubuhnya enggan untuk beranjak bangun.

Lalu remaja itu memilih mendiamkan suara itu beberapa saat, menunggu agar si pemilik yang tidur di kasur bawah ini mengangkatnya. Namun nihil, suara itu terus saja terdengar, yang membuat laki-laki itu mengumpat kesal.

"Bang Tama! Ada telpon tuh," kesal Raga, dengan mata tertuju pada manusia yang tertidur nyenyak di ranjang bawah. Sangat nyenyak sampai-sampai tak mendengar suara ponselnya yang berdering dengan volume yang tinggi. Menyebalkan.

"Bang Tama, ada yang telepon."

"Bang Agtama!"

"WOY! BANG TAMA!!"

Tubuh itu tersentak kaget atas teriakan juga bantal keras yang menimpa wajahnya, mata indah itu sontak langsung terbuka, menampilkan sepasang netra hijaunya yang indah.

Agtama menghela nafas, menatap seorang remaja laki-laki di ranjang atas yang menyembulkan kepalanya ke bawah. Terlihat menatapnya dengan pandangan kesal dan bibir komat-kamit seperti sedang menyumpahi.

"Apasih Ga," kesal Agtama lalu beranjak untuk duduk.

Dughh!

"Akhh."

Entah lupa dia tidur di kasur bawah dari ranjang tingkat atau karena nyawanya yang masih belum terkumpul sepenuhnya, tapi kini Agtama menunduk sambil mengusap kepalanya yang terasa sakit karena menimpa kayu di atasnya. Raga pun terlihat puas melihatnya, sama sekali tak merasa kasihan atas hal yang menimpa teman sekamarnya itu.

"Bang Tama, tadi ada yang nelpon, tapi dah mati teleponnya karena bang Tama kebo pake banget." Raga memberitahu dengan nadanya yang kesal lalu ia kembali merebahkan diri, berniat menyambung kembali mimpi indahnya yang terganggu.

Mendengar ucapan dari Raga itu, membuat Agtama beranjak, lalu berjalan menuju meja di pojok ruangan. Mencabut ponselnya yang masih tercharger, lalu menyalakannya.

"Uh?"

Agtama menatap history penelpon, nomor tak dikenal, berawalan angka +39, yang tentu bukanlah berasal dari Indonesia.

"Siapa ya.., paling yang mau nge-hack," gumam Agtama lalu menatap waktu di ponselnya, pukul 06:32. Mengapa ia berpikir seperti itu? Ya karena pengalaman. Dulu ia pernah di telpon dengan nomor dari negara asing, dan setelah itu nomor WhatsApp nya di hack oleh orang lain. Betapa menyebalkannya saat ia mengingat itu.

Agtama menghela nafas, lalu meletakkan kembali ponselnya. Menyambar handuk yang tergantung di belakang pintu lalu berjalan keluar dari kamarnya, menuju kamar mandi di bangunan yang cukup besar ini.

"Baru bangun Ma?"

Baru keluar, Agtama dikagetkan dengan seorang wanita paruh baya yang masih memakai mukena putih bercorak bunga. Untungnya ia tidak refleks berteriak.

Never LeaveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang