Bab 21: Atap Kafe

23 1 0
                                    

Takdir dari Tuhan itu tidak jahat, hanya saja, kamu yang kurang kuat dalam menerimanya.” The Violinist

___

ARTALA menjadi orang pertama yang keluar dari ruang sidang, berjalan tergesa-gesa tanpa tujuan karena langkahnya hanyalah pelarian. Sesak terasa ketika mengingat persetujuan kedua orangtuanya atas pertanyaan hakim tentang perceraian, menyakitkan juga saat menyadari fakta bahwa kini keluarganya tak utuh seperti sebelumnya.

Langkah Artala terhenti saat sebuah tangan lembut menangkap pergelangan tangannya, menariknya ke dalam dekapan hangat dari wanita yang juga merupakan seorang ibu. Mendekapnya erat hingga mampu membuat air mata yang sedari tadi ditahan itu luruh, mengalir dengan indahnya.

"Gapapa nak, nangis aja.." bisik Clara dengan tangan mengusap lembut punggung keponakannya itu, memejamkan mata saat merasa bahunya basah karena wajah yang dibenamkan di sana.

"Arta capek tante.."

Ciara juga ada tak jauh dari sana, menatap Artala dengan pandangan yang sulit diartikan kemudian membuang muka. Ia benci saat merasa bersimpati atas kesedihan seseorang, karena ia tau, dikasihani itu tidaklah menyenangkan.. tapi keadaan Artala saat ini memang layak dikasihani, sebenarnya.

"Tante.., Tuhan jahat. Bukannya wujudin doa-doa Arta, dia malah hancurin itu semua.."

Sontak kedua lengan Ciara yang melingkar di tubuhnya semakin mengerat, "Artala.., kamu boleh kecewa kok, setiap manusia mempunyai hak untuk merasa kecewa. Namun, jangan pernah menyalahkan Tuhan atas takdir-Nya, karena mungkin itu adalah hal yang terbaik untuk kita."

Sontak Artala melepaskan pelukan dan menatap Clara dengan pandangan tak terima, ia tak suka atas satu kata terbaik yang ada di sana. Apa yang terbaik? Semua hal yang melukainya ini adalah yang terbaik begitu? 

"Terbaik apanya sih Tante? Hidup aku hancur karena ini, hancur!"

"Mungkin bagi lo ini bukan yang terbaik, tapi bagi orang lain mungkin iya." Karena geram, Ciara menyahut, ia tak suka saat ada yang menaikkan suara pada ibunya. Dan Artala telah melakukannya dengan lancang.

"Bagi siapa hm? Siapa?.." Artala menunduk, merasa nafasnya mulai terenggut seolah oksigen perlahan menipis. Semakin sesak lagi saat Clara menjawab dengan suara pelan.

"Orangtua kamu.. bagi mereka ini lah yang terbaik."

"Hubungan mereka telah renggang sejak lama, Artala.., tapi mereka tetap berusaha bertahan demi kamu. Kamu gak tau bagaimana perasaan mereka yang harus bertahan dalam rumah tangga yang hancur."

Entahlah, apapun yang saat ini Clara katakan sebagai pembujukan.., Artala tetap berpikir bahwa orangtuanya salah, egois, jahat.. dan tak pernah memikirkan perasaannya.

___

"Maaf ya, waktu lo nelpon itu gue gak bisa dateng.."

Selepas dari pengadilan agama, Artala cukup dikejutkan dengan kehadiran Agtama dengan motor matic merahnya dulu, setelah itu laki-laki itu tersenyum manis dan menawarkan tumpangan pada Artala yang tadinya mau masuk ke dalam mobil Ciara.

Dan kini, di sinilah mereka berada. Di atap kafe tempat dulu Agtama bekerja dengan satu cone gelato di tangan masing-masing. Memilih duduk diam di atas tembok pembatas dibandingkan kursi-kursi yang ada di sana, sambil menatap pemandangan kota yang tampak sibuk di tengah hari.

Never LeaveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang