Alur hidup yang begitu cepat membawaku kesini. Menyusun puzzle hidup yang dulu lebur berantakan. Ketika hatiku begitu patah, ia datang dengan bak obat merah yang akan menyembuhkan lukaku.
Seiring berjalannya waktu. Alur ini semakin jauh membawaku pada titik pertemuan selanjutnya. Ia berkata, bahwa ia datang untuk mengobati lukaku. Meminta izin untuk masuk kedalam hidupku.
Lama untukku dapat yakin untuk kembali membuka hati. Lama untukku bisa percaya akan cinta. Tetapi, ia tak pernah menyerah.
"Langitnya bagus lho Sa!" Aku mengangguk. Menikmati warna langit kesukaanku. Pertemuan kesekian kali yang membuat hatiku terobang-ambing.
"Kalau di Bandung sering santai gini Mas?" Dia menelan cilok dengan susah payah lalu mengangguk.
"Tapi seringnya tetep di mess sih Sa. Langitnya nggak kalah bagus sama di Jogja. Ya walaupun menurut saya kalau di Jogja dimana aja langitnya pasti bagus." Aku mengangguk.
"Iya. Di samping rumah simbahku juga bagus." Jawabku antusias.
"Oh ya? Boleh saya di ajak kesana." Wajahku langsung berubah masam.
"Nanti Bapak marah Mas. Bapak nggak suka aku dekat sama laki-laki." Rambutku di acak gemas olehnya.
"Bercanda sayangku." Wajahku sepertinya memerah saat ini.
"Kok blushing Sa. Saya salah ngomong ya?" Aku menggeleng. Menatap pedagang cilok Alun-Alun Selatan Jogja. Antrinya masih mengular panjang.
"Mas sebenarnya kita ini apa sih?" Dengan segala keberanian aku bertanya.
"Kamu maunya apa? Kalau saya maunya kamu sama saya serius. Nikah gitu." Aku langsung menepuk pahanya cukup keras.
"Mas bercanda terus." Ia terkekeh.
"Saya serius Karisa. Saya sudah jatuh hati sama kamu sejak di Kedu. Saya pikir waktu itu hanya obsesi saya sebagai remaja. Tetapi ini sudah bertahun-tahun dari saat itu. Buktinya saya masih berusaha Karisa.
Aku diam, meresapi setiap ucapan yang Angga ucapkan. Aku mencari kebohongan dimatanya.
"Nggak semudah itu Mas." Ucapku lirih. Angga tersenyum
"Saya nggak maksa kamu untuk menerima hati saya sekarang Karisa. Saya bisa bersabar." Balasnya.
"Kalau pada akhirnya saya tetap tidak bisa Mas?" Ia malah terkekeh.
"Ya berarti percintaan saya kurang beruntung Karisa. Saya akan selalu berusaha sampai saya menyerah. Sampai takdir yang memisahkan kita."
"Tapi satu yang perlu kamu ingat ya Sa. Jodoh adalah takdir yang bisa kita upayakan. Jadi mari kita usahakan itu semua." Aku masih diam. Terus mencerna apa yang baru saja ia ucapkan.
"Mas Angga pernah mikir sampai kita nikah?"
"Setiap hari Karisa. Saya selalu memikirkan kalau kita akan menua bersama. Menghabiskan waktu seumur hidup bersama kamu Karisa. Itu mimpi saya yang selalu saya ucapkan dalam doa saya." Aku melihat matanya yang sedang menatap mataku.
"Mas Angga pernah mikir tentang bagaimana resikonya?" Helaan nafasnya terdengar begitu panjang. Tanganya mengambil tanganku untuk ia genggam.
"Selalu sa. Saya selalu memikirkan itu. Ada banyak cara Sa untuk menjadi kita." Kumandang adzan magrib terdengar bersautan.
"Saya antar kamu ke Masjid yuk." Aku mengangguk. Kami berjalan menuju motor supra yang terparkir rapi bersama motor lain.
Kami memutar jalan. Menuju masjid bergaya khas jawa. Tiangnya berwarna hijau. Lantai marmer berwarna krem yang menambah keindahan masjid ini. Masjid penuh kenanganku bersama Reza.
KAMU SEDANG MEMBACA
Intuisi
Teen FictionHatiku berkata, aku ingin mengenalnya. Aku selalu suka semuanya, senyumnya, hidungnya. Apalagi saat jilbabnya tertiup angin dan menutup sebagian wajahnya. Diam-diam aku sering melihatnya saat bersujud dan berdoa pada Tuhannya. Ia akan terlihat semak...