Memang bukan Bintang negara, tapi beliau sudah menjadi bintang untuk hidup dan jiwa kami~~
Oscar POV
+628562862529
Mataku tak bohong, bahkan aku tidak menatapmu kemarin.Aku langsung bangkit, membaca pesan dari nomor baru. Aku begitu bahagia, saat Karisa membalas pesanku. Wajahku sudah berseri sempurna. Dengan kecepatan seribu aku mengetikan balasan.
Me:
Akhirnya kamu menjawab pesan saya Karisa.Cukup lama aku menunggu jawaban. Tidak peduli isi pesannya, yang pasti aku bisa mendapatkan nomor teleponnya. Jiwa stalker langsung muncul. Satu kedipan mata, layar handphoneku berubah. Menampakan wajahnya yang begitu manis. Dengan senyum lebar, memakai jilbab warna abu-abu.
Tapi sayang, ada dua laki-laki di belakangnya. Mungkin temannya, aku harus positive thinking. Cukup lama tak ada balasan, aku sampai mondar mandir kanan dan kiri. Tapi tak kunjung ada balasan.
Masjid asrama mengumandangkan adzan. Pertanda mereka yang muslim harus melaksanakan kewajiban sholatnya.
Aku memilih keluar, menemui ibu yang sedang menyiapkan makan malam. Mungkin Karisa sedang melakukan kewajibannya.
"Mas." Panggil ibu saat aku duduk di kursi dapur. Aku hanya tersenyum dan membantu ibu mengupas kelapa.
"Tadi di tegur bapak lagi mas?" Aku mengangguk.
"Secantik apa dia?" Aku tersenyum. Ibu selalu mendukungku. Dan ibu tempat curhat paling aman untukku.
"Dia nggak cantik Bu, dia itu manis. Matanya menyipit saat ia tersenyum. Kenapa ibu tanya secantik apa? Memang aku cari yang cantik?" Beliau malah terkekeh.
"Ya untuk membandingkan sama yang dulu." Aku melotot.
"Ah ibu, kenapa di bahas. Kalau cantik ya cantik yang dulu. Tapi kalau yang ini, dia manis dan tidak bosan untuk di pandang. Tapi yang dulu kan sudah berlalu Bu. Mana mau dia sama yang miskin seperti kita." Ibu lagi-lagi terkekeh.
"Kita memang miskin le, tapi kita punya banyak kebahagiaan. Kesederhanaan dan cinta dari Tuhan itu yang utama le." Aku tersenyum tipis. Saat mengingat wanita yang dulu membuatku tahu tentang cinta.
Tapi nyatanya orang miskin sepertiku tidak bisa membuatnya bahagia. Orang tuanya takut aku tidak bisa memberikan kehidupan yang layak untuknya. Hah beginilah hidup, terkadang tidak adil.
"Jadi kapan mau di kenalkan ke Ibu?" Aku mendengus.
"Aku saja belum kenal Bu!" Tegasku. Memakan potongan buah kelapa yang tengah ku kupas.
"Lho bagimana to le." Aku nyengir.
"Minggu lalu saya pesiar Bu. Jalan sama Rama ke Kedu. Sambil mencari foto di sana. Dan mata saya menangkap perempuan manis itu Bu. Namanya Karisa, senyumnya lebar seperti ibu. Membuat aku makin yakin. Kalau aku akan mendapatkan pendamping seperti Ibu." Ibu mendekatiku, mengambil kelapa untuk ia parut.
"Kamu itu lo le, seperti orang yang udah pernah merasakan cinta saja." Aku terkekeh. Ibu memang benar.
"Aku itu pernah merasakan cinta bu. Tapi nggak semuanya indah, ada yang kebanyakan garam. Ada yang kurang bawang." Ibu tertawa.
"Yang belum aku rasakan itu pacaran Bu." Tawa ibu kini makin menjadi.
"Kamu Lo, ada-ada saja. Yang terpenting sukses dulu. Angkat derajat keluarga kita Le. Kelak jadilah perwira yang bersih. Bukan yang hanya mengandalkan pangkat." Aku tersenyum geli.
"Iya Bu, Saya akan bekerja yang bersih. Dan Tuhan akan selalu melindungi aku." Ibu mengangguk. Memeras kelapa yang sudah ia parut. Entah malam ini ibu akan memasak apa.
"Rencana mau kemana?" Aku menggeleng.
"Di rumah Bu. Menikmati waktu bersama ibu bapak dan Anggi. Nggak banyak loh waktuku." Setelah perbincangan yang hangat dengan ibu. Aku kembali masuk ke dalam kamar. Mengambil handphone yang ku simpan di bawah bantal. Anggi akan selalu usil.
Pasti selalu saja dia akan mengadu ke Bapak. Bapak seorang yang tegas,dari kecil aku selalu di ajarkan untuk menjadi laki-laki yang bertanggung jawab. Untuk hidupnya sendiri ataupun orang lain.
Bapak melarangku untuk berpacaran sebelum aku benar-benar sukses. Bisa menghidupi diri sendiri, syukur keluarga. Bapak selalu berpesan, bantulah orang tua ketika kita mampu. Seberapapun pasti orang tua akan menerima dengan lapang.
Jadi jika bapak tahu aku membicarakan cinta. Ia pasti akan marah. Karena bapak benar-benar ingin aku menjadi orang.
Bapak berusaha mati-matian menjadikanku seorang perwira. Tidak sedikit uang yang ia keluarkan untuk aku masuk di sekolah asrama saat SMA. Biaya per bulannya tidak sedikit. Padahal kalian tahu, seberapa besar gaji prajurit seperti Bapak.
Dan akhirnya bapak begitu bahagia saat aku bisa masuk ke Akmil. Perjuangan yang begitu berat. Tak habis lima jam kalau ku ceritakan.
Bapak juga ingin aku menjadi pemimpin. Tidak seperti dirinya. Seperti itu nasihatnya di setiap waktu. Bapak tidak ingin kisahnya di masa lalu terulang. Saat gadis yang di cintai memilih hidup bersama perwira. Di banding Bintara seperti bapak.
Sulit sekali menjadi bapak saat itu, tapi Tuhan adil. Bapak di pertemukan dengan Ibu. Wanita sederhana yang begitu tulus mencintai bapak.
Jadi bapak tidak ingin aku menye-menye. Semuanya harus disiplin. Bapak ingin, aku ada di barisan terdepan di hadapan presiden saat menerima penghargaan Adhi Makayasa. Dan kami bisa mengabadikan momen indah, saat bapak masih bisa mengenakan seragam kebanggaannya.
Walaupun bapak bukan Bintang negara, tapi bapak tetap bintang bagi kami. Bagi aku, ibu dan Anggi. Bapak kebanggaan kami, hidup kami dan jiwa kami.
"Mas, di suruh ngantar bapak ke rumah komandan." Aku mengangguk, mengganti pakaian rumah dengan pakaian kebanggaan semua taruna. Rumah komandan tak jauh dari tempatku.
"Gimana pendidikan mu?"
"Siap lancar Pak. Tugas Akhir sudah menunggu." Beliau hanya mengangguk. Aku kembali fokus mengendarai mobil milik bapak. Hasil keringatnya yang begitu banyak.
Bukan mobil mewah di negeri ini. Tapi bagi kami, sudah cukup banyak membantu berlindung dari panas dan hujan.
Karisa:
Iya, aku baru sempet buka hp. Baru selesai kegiatan kemah.Aku tersenyum, kembali membayangkan wajah bantat itu.
"Mas, ayo buruan turun" teriak bapak dari luar. Aku mengangguk. Mengikuti langkah besarnya.
Tunggu aku membalas pesanmu Karisa.
🌻🌻🌻
Jadi bagaimana ? Masihkah harus berlanjut?
KAMU SEDANG MEMBACA
Intuisi
Teen FictionHatiku berkata, aku ingin mengenalnya. Aku selalu suka semuanya, senyumnya, hidungnya. Apalagi saat jilbabnya tertiup angin dan menutup sebagian wajahnya. Diam-diam aku sering melihatnya saat bersujud dan berdoa pada Tuhannya. Ia akan terlihat semak...